Selasa, 24 Juni 2014

SEJARAH TELEVISI "TV ITU NARSIS..."

Teknologi televisi produksi dan penyiaran terus berkembang, baik secara kualitas dan kuantitas dengan keberagaman produk turunannya yang saling melengkapi. Sebagai alat komunikasi massa, televisi penyiaran semakin menyempurnakan makna dari komunikasi massa. 

Kebutuhan khalayak televisi pun semakin terpenuhi. Jalan panjang kehadirannya telah melewati liku-liku pendakian dan penurunan, sebuah proses dari kerja keras seseorang atau kelompok untuk mengimplementasikan  keinginan guna memenuhi kebutuhan khalayaknya. Untuk mewujudkan keinginan mulia ini, tentu diiringi oleh semangat yang begitu kuat. 

Inggris, memiliki semangat awal agar budaya yang lahir dan berkembang dari istana kerajaannya tetap terjaga. Dalam rangka mempertahankan budaya tingginya mereka mendirikan stasiun televisi penyiaran. 

Amerika, melalui program hiburannya, berupaya agar masyarakatnya berkehidupan sosial. Perang dunia telah menggeser pola hidup dan kehidupan mereka, melalui budaya pop, mereka mencoba mengembalikan harkat manusia sebagai makhluk sosial. 

Jepang, dengan semangat kulturnya mendirikan stasiun televisi penyiaran, berkembang dan berikutnya menjadi produsen teknologi, termasuk teknologi komunikasi (televisi). Indonesia, dengan semangat awal yang juga agak “narsis”, hadir untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara mercusuar, yang akan membangun sesuatu yang besar-besar. “Narsis”, yang sesungguhnya merupakan sifat dasar manusia yang seyogianya dapat menjawab bahwa sesunguhnya apabila manusia dapat mengenali dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. “ Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal AKU”. 

Sadar atau tidak sadar, manusia memang paling senang melihat wajahnya. Ini memang suatu kebutuhan mendasar bagi manusia, akan tetapi kita memang terlalu sulit untuk menjadi sadar (insyaf). Kembali ke semangat awal, Televisi Republik Indonesia (TVRI) didirikan, salah satu semangat awalnya“agar dunia tahu bahwa Indonesia itu ada”. Untuk dapat mengimplementasikan keinginan itu dengan cepat adalah teknologi televisi yang pada zamannya belum banyak negara yang memilikinyia. Melalui siaran hari perayaan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1962, dan siaran Asian games, teknologi televisi telah membantu keinginan “Founding Father” kita untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia ada untuk diketahui, kemudian dikenal. Hal ini memang narsis, tetapi dibalik narsis, ada cita-cita luhur guna pembangunan Indonesia dari berbagai aspek. Pembangunan ini hanya bisa terlaksana apabila orang lain tau kita, kemudian mengenalnya dan berikutnya akan terjadi interaksi yang saling memenuhi. Keberadaan kita melalui televisi telah diketahui, kemudian dikenal, maka tugas kitalah menjaganya.

Hal ini sangat berkesesuaian dengan kearipan budaya kita “tau diri, kenal diri dan jaga diri”. 

Teknologi komunikasi yang namanya televisi memang hebat. Dari media yang hanya dapat menguasai ruang, saat ini telah dapat menguasai waktu. Ruang dan waktu telah menjadi domain kekuatan teknologi televisi sebagai alat media komunikasi massa dalam mempengaruhi khalayaknya. 

Dengan demikian, kemampuan televisi untuk mempengaruhi khalayak semakin kuat, ya...... karena memang televisi itu sendiri adalah khalayak. Khalayak yang dibentuk melalui program-program penyiarannya yang juga dibuat oleh khalayak, dikenal sebagai awak televisi. Kehadiran televisi yang menjadikannya sebagai khalayak karena adanya institusi, yang fungsi dasarnya adalah berproduksi dan kemudian mendistribusikannya.

 Sebagai institusi televisi, maka medialah yang paling tepat menjadi distributornya. Hal ini terkait erat dengan apa yang diproduksi oleh televisi, yaitu program siaran yang yang harus didistribusikan melalui sistem penyiaran. 

Berbagai aturan harus dipenuhi oleh televisi sebagai institusi, yang berikutnya mendapat izin untuk mendistribusikannya melalui media penyiaran, maka selain televisi sebagai institusi, maka televisi juga hadir sebagai media. Produksi televisi yang didistribusikan melalui media penyiaran dapat disebut sebagai teks, maka televisi juga hadir sebagai teks. 

Teks yang adalah produk dari televisi sebagai institusi, merupakan program siaran yang target penyiarannya adalah manusia dengan berbagai strata, baik sosial, usia, budaya, jenis kelamin dan lain sebagainya, yang adalah khalayak. Oleh sebab itu, maka televisi juga disebut sebagai khalayak. 

Sebagai institusi, televisi adalah sekelompok manusia (khalayak) yang memiliki keinginan untuk memenuhi kebutuhan khalayaknya sebagai konsumer dari produknya yang diterjemahkan sebagai teks, didistribusikan melalui media penyiaran. 

 Oleh sebab itu, benang merah dari rangkaian televisi sebagai institusi, media, teks dan khalayak adalah pemaknaan dari hubungan antara keinginan dan kebutuhan. Hubungan antara keinginan dan kebutuhan inilah letak kunci sukses dari sebuah televisi penyiaran. Keinginan televisi sebagai institusi harus dapat menterjemahkan kebutuhan khalayaknya sebagai target dari produksi yang terimplementasi pada layar(media). 

Guna pemenuhan antara keinginan dan kebutuhan tersebut para pembuat kebijakan di institusi televisi harus memahami beberapa hal dibawah ini: 
1. apa itu televisi sebagai institusi; 
2. apa itu televisi sebagai media; 
3. apa itu televisi sebagai teks dan, 
4. apa itu televisi sebagai khalayak. 

Kehadiran tulisan yang sederhana ini, adalah jawaban bagi para pembuat kebijakan khususnya di televisi daerah. Tulisan ini disusun oleh praktisi yang telah berkecimpung selama puluhan tahun baik dalam mengemban tugas struktural maupan fungsional dalam berbagai bidang yang meliputi teknik operasional, perencanaan, produksi dan penyiaran.

Memahami apa yang tertuang dalam tulisan ini dan mendiskusikannya, menjadikan anda sebagai pioner pemenuhan akan kebutuhan khalayakyang sekaligus menciptakan insan televisi yang dapat memenuhi kebutuhan konten teknologi televisi digital yang sudah hadir dinegri ini..