Kamis, 27 Agustus 2015

NILAI SEJARAH DAN FILOSOPIS SULING (SERULING)

Sebutan “seruling” yang dikenal umum di Indonesia pada dasarnya berasal dari kata “Suling” yang memiliki makna sebagai berikut:

Dalam bahasa Dwipantara (Indonesia kuno) kata “Su” mengandung arti “benar” sedangkan kata “ling” merupakan kependekan dari kata “La-Hyang” yang artinya; La = “ketentuan” sedangkan Hyang = “pemimpin”. Jadi arti kata Suling yang seutuhnya adalah “ketentuan dari para pemimpin yang benar” atau “ketentuan yang memimpin pada kebenaran”. 
Setelah terjadi evolusi bahasa yang berlangsung selama ratusan tahun maka kata Su-La-Hyang berubah menjadi Su-Ling dan kata “Ling” di sini menjadi kependekan dari kata “eling”, dengan demikian kata Su-Ling telah berubah makna menjadi “eling sangkan bener” (mawas diri demi kebenaran).

Bentuk Suling pada dasarnya merupakan perumpamaan, penggambaran atau asosiasi dari sosok manusia Dwipantara yang menggunakan ikat kepala.

Filosofi tentang mahluk manusia bagi bangsa Dwipantara adalah sosok yang mempunyai 6 ‘lubang’ kehidupan (hirup-hurip) yaitu : Mata, Hidung, Mulut, Telinga, Alat Kelamin serta Anus.

Ke 6 lubang itu tidak ada yang buruk walaupun salah satunya hanyalah lubang pembuangan ampas (kotoran). Semua lubang adalah bagian penting yang tidak dapat terpisahkan dan semua lubang harus diatur oleh disiplin kehidupan (adab). Manusia harus tahu kapan waktu membuka dan kapan waktunya menutup, kapan waktunya memasukan dan kapan waktu membuang. Semua diatur oleh nilai-nilai beradab yang tidak boleh dilanggar demi mencapai “hirup nu hurip” (bahagia, tentram dan damai) itulah pengertian atas “manusia beradab” bagi bangsa Dwipantara.

Sesungguhnya nilai yang terkandung dalam ‘permainan’ suling mirip bahkan serupa dengan konsep “keris manjing sarangka atau nga raga sukma” yaitu berpadunya kiri dan kanan/atas dan bawah, tidak ada lengan baik atau lengan buruk, yang ada adalah kesatuan memanunggalnya dunia kiri dan dunia kanan di dalam hirup (tarikan nafas, hidup). Pengaturan nafas (masuk dan buang) merupakan pengejawantahan dari konsep penataan hidup, disiplin, mawas diri dan sadar atas keterikatan diri (hirup) dengan renghap (nafas).

Maka, ketika kanan dan kiri secara berpasangan memainkan irama kehidupan lahirlah suatu gelombang suara yang penuh perhitungan dan perasaan, hal ini merupakan konsep harmoni yang serupa dengan tata keseimbangan alam, jiwa dan raga, langit dan bumi, air dan api, baik dan buruk (yin-yang, swastika, merah-putih, nagara-nagari, Nagara Kartagama).


Tiga jari tangan (baik kanan dan kiri) yang mengatur nada pada lubang suling merupakan simbol Trisula (Tri-Su-La) artinya “tiga ketentuan yang benar”. Seperti pada uraian di atas, bahwa kata Suling berasal dari Su-La-Hyang maka siapakah sesungguhnya yang dimaksud dengan Hyang? Untuk itu mau atau tidak, terpaksa kita harus menggali sejarah negeri sendiri (Indonesia atau Nusantara atau Dwipantara).

Membaca Karakter Seseorang dari Raut Wajah (fisiognomi)




Seni membaca wajah sudah dikenal sejak dulu, dari zaman Tiongkok kuno, Yunani Kuno, dan Romawi Kuno. Seni membaca wajah ini dikenal dengan nama fisiognomi. Seperti yang kerap ditemui di Indonesia yang memiliki berbagai macam suku, dengan melihat wajah terkadang kita sudah tahu atau paling tidak mereka itu berasal dari mana.

Fisiognomi, pertama kali, disusun secara sistematis oleh Ariestoteles. Dia mempelajari dan menafsirkan berbagai sifat dan karakter manusia melalui berbagai bentuk wajah, warna rambut, anggota badan, dan suara. Di antara para filsuf klasik Latin yang melakukan praktik fisiognomi adalah Juvenal, Suetonius, dan Pliny the Elder. 

Pada abad klasik (Yunani) dan abad pertengahan terdapat banyak sekali literatur yang berkembang mengenai ilmu ini. Ada suatu bukti dalam literatur- literatur klasik, termasuk karya – karya Homer dan Hipokrates, bahwa fisiognomi merupakan bagian dari filsafat praktis paling kuno.

Fisiognomi klasik lebih bersifat deskriptif, studi – studi mengenai fisiognomi di abad pertengahan lebih menekankan pada sisi prediksi dan astrologi, dan bahkan sering kali bersifat ramalan atau firasat, yang dalam ilmu kejawen  disebut  ilmu titen,  yaitu berdasarkan kebiasaan-kebiasaan masa lalu. demikian halnya dengan penulis – penulis Arab, semisal ar-Razi dan Ibnu Rusdi; mereka juga memberikan kontribusi pada literatur fisiognomi. Fisiognomi juga banyak digunakan oleh Ibnu Sina. 

Karena fisiognomi sering digunakan sebagai ramalan, maka fisiognomi  sering dihubungkan dengan ilmu astrologi. Seperti yang dilakukan oleh Laveter dalam studinya di bidang fisiognomi, dia mengarah pada pencarian jejak – jejak dari ramalan dalam sejarah kehidupan manusia. Fisiognomi, yang diklaim mencari hubungan antara bentuk bentuk wajah dengan sifat – sifat atau karakteristik psikologis tertentu, sering kali menemui keselarasan yang diharapkan.

Kata orang, membaca karakter orang itu tidak semudah membaca buku, bahkan terkadang anda perlu bertahun-tahun untuk mengenal sifat dan karakter orang lain, bahkan, pasangan anda pun masih menyimpan banyak sekali rahasia mengenai karakter dirinya.

Salah satu panduan sederhana untuk mengenal karakter orang, adalah dengan melihat bentuk wajah dan raut wajahnya, siapa tahu anda bisa bertemu dengan pasangan yang cocok dari hal ini. Mari kita pelajari lebih dalam.

BENTUK WAJAH
Panjang dan tirus: Pemilik bentuk wajah seperti ini pada umumnya memiliki kesabaran dan keteguhan hati yang kuat. Pribadinya menarik dan akan selalu berusaha menyelesaikan semua tugasnya sampai tuntas.
Bulat: Wajah bulat adalah penanda orang yang penuh energi dan harapan. Pemilik wajah ini cenderung menjadi pusat perhatian, dan adalah orang yang sangat pandai untuk mencairkan kebekuan dimanapun dia berada.
Lebar: Selain mudah iba, kemampuannya untuk bertoleransi sangat baik, dikarenakan wawasan luas yang dimilikinya.
Persegi: Kecenderungan untuk menjadi orang yang individualis dan memiliki keinginan kuat dalam mencapai mimpinya. Orang dengan bentuk wajah seperti ini tidak akan pernah bisa diam dan selalu cekatan dalam bergerak.

DAHI
Licin: Orang dengan dahi seperti ini sudah terbiasa untuk berpikir dan cepat dalam mengambil keputusan
Berkerut: Kerutan berupa garis-garis mendatar adalah tanda bahwa selain orang tersebut memiliki antusiasme yang luar biasa, dia juga mudah marah.

MATA
Tegang: Pemilik tanda ini adalah orang yang mudah tertekan dan mudah kuatir, dapat kita amati jika dibawah selaput pelangi (bagian yang berwarna) dan kelopak mata, terdapat bagian putih (mata terbuka lebar di bagian bawah) , dan bagian ini nampak di kedua mata.
Menantang: Orang yang memiliki ciri sebaliknya dari diatas (bagian putih berada diatas selaput pelangi), maka selain tanda bahwa orang tersebut mudah tertekan, orang tersebut juga galak.
Terpisah: Jika bagian putih tampak di sekeliling selaput mata, berhati- hatilah, orang tersebut cenderung tidak stabil secara psikologis dan mudah sekali marah.
Garis-Garis: Jika di bagian luar mata terdapat banyak garis kecil, maka orang tersebut biasanya ramah, murah senyum dan selalu merasa bahagia.

ALIS
Bagian ini seringkali merupakan indikator cara berpikir seseorang.
Lurus: Alis mata yang lurus mendatar, cenderung menunjukkan orang yang penuh gagasan dan suka berdebat.
Lengkung: Alis mata yang melengkung menunjukkan tipe orang yang memiliki sense humor yang sangat baik.
Tipis: Orang dengan alis mata tipis biasanya kurang percaya diri, apalagi jika alis tipis ini agak keatas, dan melengkung
Tersambung: Alis mata yang tersambung adalah bukti bahwa orang dihadapan ada adalah pemikir dan anda bisa menarik manfaat dari orang tersebut dengan memberikan semangat kepada mereka untuk  membagikan gagasannya.

KELOPAK MATA
Sempit: Jika jarak antara bagian atas kelopak dan bulumata sangat dekat, maka orang tersebut mandiri dan biasa menjaga jarak dengan orang lain.
Lebar: Sebaliknya, jika jaraknya lebar, maka orang tersebut cenderung tidak bisa mandiri.

HIDUNG
Kecil: Pemilik hidung mungil pada umumnya memiliki pembawaan lemah, seringkali tidak bisa diandalkan, dan pikirannya cenderung mudah diubah.
Besar: Hidung besar adalah tanda orang yang memiliki inisiatif, mantap dan karakter yang dipunyainya cukup kuat.
Pesek: Hidung yang besar dan pesek, biasanya akan dimiliki mereka yang tidak kaku dengan sekelilingnya, pragmatis, hanya percaya pada diri sendiri, mugah bergaul dan tidak takut.
Mancung:Pemilik hidung ini, biasanya dikatakan suka berterus terang, dan omongannya terkadang menyakitkan. Selain narsis berat, mereka juga susah mengambil keputusan, tapi memiliki kepekaan yang tinggi.

TELINGA
Kecil: Ukuran telinga yang kecil pada umumnya dimiliki mereka yang tahu apa yang mereka mau, dan juga adalah orang-orang yang suka bekerja keras.
Tajam: Umumnya orangnya kaku dan susah sekali merasa rileks
Telinga yang berambut: Pemiliknya, cenderung sangat cermat dan teliti. Walaupun, waktu dan tenaganya sering habis hanya untuk mengurusi hal yang tidak terlalu penting.

DAGU & RAHANG
Rahang persegi: Mereka umumnya memiliki sifat yang keras dan mempunyai kemampuan untuk mewujudkan impian mereka.
Dagu yang menonjol keluar: Orang yang selalu merasa bahwa dirinya penting dan selalu benar. Menurut dia, tidak ada orang yang benar, hanya dirinyalah yang benar!

PIPI
Pipi yang bentuknya bagus: Pemilik pipi ini cenderung memiliki sifat cekatan, penuh energi, PD dan dapat menerima kesalahan orang lain.
Lesung pipi: Memang lesung pipi akan membuat orang tersebut tampak menarik, selain itu, ternyata lesung pipi menunjukkan keserasian pemiliknya.

BIBIR
Tebal: Orang yang murah hati dan suka membicarakan apa yang berhasil dia raih.
Tipis dan bulat: Hampir bisa dipastikan, bahwa pemilik bibir seperti ini adalah orang yang tertutup dan peka.

Bibir atas tipis dan bibir bawah tebal: Orang seperti ini sangat pandai untuk membujuk orang lain.

SYAIR JAYABAYA

Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda. Tanah Jawa berkalung besi. Perahu berlayar di ruang angkasa. Sungai kehilangan lubuk. Pasar kehilangan suara. Itulah pertanda jaman Jayabaya telah mendekat.

Bumi semakin lama semakin mengerut. Sejengkal tanah dikenai pajak. Kuda suka makan sambal. Orang perempuan berpakaian lelaki.

Banyak janji tidak ditepati. Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri. Orang-orang saling lempar kesalahan. Tak peduli akan hukum Allah. Yang jahat dijunjung-junjung. Yang suci (justru) dibenci.

Banyak orang hanya mementingkan uang. Lupa jati kemanusiaan. Lupa hikmah kebaikan. Lupa sanak lupa saudara. Banyak ayah lupa anak. Banyak anak berani melawan ibu. Menantang ayah. Saudara dan saudara saling khianat. Keluarga saling curiga. Kawan menjadi lawan. Banyak orang lupa asal-usul.

Hukuman Raja tidak adil. Banyak pembesar jahat dan ganjil. Banyak ulah-tabiat ganjil. Orang yang baik justru tersisih. Banyak orang kerja halal justru malu. Lebih mengutamakan menipu. Malas menunaikan kerja. Inginnya hidup mewah. Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.

Si benar termangu-mangu. Si salah gembira ria. Si baik ditolak ditampik. Si jahat naik pangkat. Yang mulia dilecehkan. Yang jahat dipuji-puji.

Perempuan hilang malu. Laki-laki hilang perwira. Banyak laki-laki tak mau beristri. Banyak perempuan ingkar pada suami. Banyak ibu menjual anak. Banyak perempuan menjual diri. Banyak orang tukar pasangan. Perempuan menunggang kuda. Laki-laki naik tandu. Dua janda harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen). perawan lima picis. Duda pincang laku sembilan uang.

Banyak orang berdagang ilmu. Banyak orang mengaku diri. Di luar putih di dalam jingga. Mengaku suci, tapi palsu belaka. Banyak tipu banyak muslihat.

Banyak hujan salah musim. Banyak perawan tua. Banyak janda melahirkan bayi. Banyak anak lahir mencari bapanya.

Agama banyak ditentang. Perikemanusiaan semakin hilang. Rumah suci dijauhi. Rumah maksiat makin dipuja. Di mana-mana perempuan lacur. Banyak kutuk, Banyak pengkhianat. Anak makan bapak. Saudara makan saudara.

Guru dimusuhi. Tetangga saling curiga. Angkara murka semakin menjadi-jadi. Barangsiapa tahu terkena beban. Sedang yang tak tahu disalahkan.

Kelak jika terjadi perang. Datang dari timur, barat, selatan, dan utara. Banyak orang baik makin sengsara. Sedang yang jahat makin bahagia. Ketika itu burung gagak dibilang bangau. Orang salah dipandang benar. Pengkhianat nikmat. Durjana semakin sempurna. Orang jahat naik pangkat. Orang yang lugu dibelenggu. Orang yang mulia dipenjara.
Yang curang berkuasa. Yang jujur sengsara.

Pedagang banyak yang tenggelam. Penjudi banyak merajalela. Banyak barang haram. Banyak anak haram. Perempuan melamar laki-laki. Laki-laki memperhina derajat sendiri. Banyak barang terbuang-buang. Banyak orang lapar dan telanjang. Pembeli membujuk penjual. Si penjual bermain siasat. Mencari rizki ibarat gabah ditampi. Siapa tangkas pasti lepas. Siapa terlanjur, pasti menggerutu.

Si besar tersasar. Si kecil terpeleset. Si congkak terbentur. Si takut, mati. Si nekat mendapat berkat. Si hati kecil tertindih Yang ngawur makmur. Yang berhati-hati merintih. Yang main gila menerima bagian. Yang sehat pikiran berhenti berpikir.

Si tani diikat. Si bohong menyanyi-nyanyi. Raja ingkar janji, hilang wibawanya. Pegawai tinggi menjadi rakyat. Rakyat kecil jadi priyayi. Yang curang jadi besar. Yang jujur celaka.

Banyak rumah di punggung kuda. Orang makan sesamanya. Anak lupa bapa. Orang tua lupa ketuaan mereka. Jualan pedagang semakin laris. Namun harta mereka makin habis. Banyak orang mati lapar di samping makanan.Yang gila bisa bersolek. Si bengkok membangun mahligai. Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.

Terjadi perang di dalam. Terjadi karena para pembesar banyak salah faham. Kejahatan makin merajalela. Penjahat makin banyak. Yang baik makin sengsara. Banyak orang mati karena perang. Karena bingung dan kebakaran. Si benar makin tertegun. Si salah makin sorak sorai. Banyak harta hilang entah ke mana.
Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa. Banyak barang haram, banyak anak haram.

Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar. Tapi betapapun beruntung si lupa. Masih lebih beruntung si waspada. Angkara murka semakin menjadi. Di sana-sini makin bingung. Pedagang banyak rintangan. Banyak buruh melawan majikan. Majikan menjadi umpan. Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh.

Si pandai direcoki. Si jahat dimanjakan. Orang yang mengerti makan hati. Harta benda menjadi penyakit Pangkat menjadi pemukau. Yang sewenang-wenang merasa menang Yang mengalah merasa serba salah.

Ada raja berasal orang beriman rendah. Maha menterinya benggol judi. Yang berhati suci dibenci Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa. Pemerasan merajalela. Pencuri duduk berperut gendut. Ayam mengeram di atas pikulan. Pencuri menantang si empunya rumah.Penyamun semakin kurang ajar. Perampok semua bersorak-sorai. Si pengasuh memfitnah yang diasuh Si penjaga mencuri yang dijaga. Si penjamin minta dijamin. Banyak orang mabuk doa. Di mana-mana berebut menang. Angkara murka menjadi-jadi.

Agama ditantang. Banyak orang angkara murka. Membesar-besarkan durhaka. Hukum agama dilanggar. Perikemanusiaan diinjak-injak. Tata susila diabaikan. Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi. Rakyat kecil banyak tersingkir. Karena menjadi kurban si jahat si laknat. Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit. Dan punya prajurit. Lebar negeri seperdelapan dunia. Pemakan suap semakin merajalela. Orang jahat diterima. Orang suci dibenci. Timah dianggap perak. Emas dibilang tembaga. Gagak disebut bangau.


Orang berdosa sentausa. Rakyat jelata dipersalahkan. Si penganggur tersungkur. Si tekun terjerembab. Orang busuk hati dibenci. Buruh menangis. Orang kaya ketakutan. Orang takut jadi priyayi. Berbahagialah si jahat. Bersusahlah rakyat kecil. Banyak orang saling tuduh.

Selasa, 24 Juni 2014

SEJARAH TELEVISI "TV ITU NARSIS..."

Teknologi televisi produksi dan penyiaran terus berkembang, baik secara kualitas dan kuantitas dengan keberagaman produk turunannya yang saling melengkapi. Sebagai alat komunikasi massa, televisi penyiaran semakin menyempurnakan makna dari komunikasi massa. 

Kebutuhan khalayak televisi pun semakin terpenuhi. Jalan panjang kehadirannya telah melewati liku-liku pendakian dan penurunan, sebuah proses dari kerja keras seseorang atau kelompok untuk mengimplementasikan  keinginan guna memenuhi kebutuhan khalayaknya. Untuk mewujudkan keinginan mulia ini, tentu diiringi oleh semangat yang begitu kuat. 

Inggris, memiliki semangat awal agar budaya yang lahir dan berkembang dari istana kerajaannya tetap terjaga. Dalam rangka mempertahankan budaya tingginya mereka mendirikan stasiun televisi penyiaran. 

Amerika, melalui program hiburannya, berupaya agar masyarakatnya berkehidupan sosial. Perang dunia telah menggeser pola hidup dan kehidupan mereka, melalui budaya pop, mereka mencoba mengembalikan harkat manusia sebagai makhluk sosial. 

Jepang, dengan semangat kulturnya mendirikan stasiun televisi penyiaran, berkembang dan berikutnya menjadi produsen teknologi, termasuk teknologi komunikasi (televisi). Indonesia, dengan semangat awal yang juga agak “narsis”, hadir untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara mercusuar, yang akan membangun sesuatu yang besar-besar. “Narsis”, yang sesungguhnya merupakan sifat dasar manusia yang seyogianya dapat menjawab bahwa sesunguhnya apabila manusia dapat mengenali dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. “ Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal AKU”. 

Sadar atau tidak sadar, manusia memang paling senang melihat wajahnya. Ini memang suatu kebutuhan mendasar bagi manusia, akan tetapi kita memang terlalu sulit untuk menjadi sadar (insyaf). Kembali ke semangat awal, Televisi Republik Indonesia (TVRI) didirikan, salah satu semangat awalnya“agar dunia tahu bahwa Indonesia itu ada”. Untuk dapat mengimplementasikan keinginan itu dengan cepat adalah teknologi televisi yang pada zamannya belum banyak negara yang memilikinyia. Melalui siaran hari perayaan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1962, dan siaran Asian games, teknologi televisi telah membantu keinginan “Founding Father” kita untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia ada untuk diketahui, kemudian dikenal. Hal ini memang narsis, tetapi dibalik narsis, ada cita-cita luhur guna pembangunan Indonesia dari berbagai aspek. Pembangunan ini hanya bisa terlaksana apabila orang lain tau kita, kemudian mengenalnya dan berikutnya akan terjadi interaksi yang saling memenuhi. Keberadaan kita melalui televisi telah diketahui, kemudian dikenal, maka tugas kitalah menjaganya.

Hal ini sangat berkesesuaian dengan kearipan budaya kita “tau diri, kenal diri dan jaga diri”. 

Teknologi komunikasi yang namanya televisi memang hebat. Dari media yang hanya dapat menguasai ruang, saat ini telah dapat menguasai waktu. Ruang dan waktu telah menjadi domain kekuatan teknologi televisi sebagai alat media komunikasi massa dalam mempengaruhi khalayaknya. 

Dengan demikian, kemampuan televisi untuk mempengaruhi khalayak semakin kuat, ya...... karena memang televisi itu sendiri adalah khalayak. Khalayak yang dibentuk melalui program-program penyiarannya yang juga dibuat oleh khalayak, dikenal sebagai awak televisi. Kehadiran televisi yang menjadikannya sebagai khalayak karena adanya institusi, yang fungsi dasarnya adalah berproduksi dan kemudian mendistribusikannya.

 Sebagai institusi televisi, maka medialah yang paling tepat menjadi distributornya. Hal ini terkait erat dengan apa yang diproduksi oleh televisi, yaitu program siaran yang yang harus didistribusikan melalui sistem penyiaran. 

Berbagai aturan harus dipenuhi oleh televisi sebagai institusi, yang berikutnya mendapat izin untuk mendistribusikannya melalui media penyiaran, maka selain televisi sebagai institusi, maka televisi juga hadir sebagai media. Produksi televisi yang didistribusikan melalui media penyiaran dapat disebut sebagai teks, maka televisi juga hadir sebagai teks. 

Teks yang adalah produk dari televisi sebagai institusi, merupakan program siaran yang target penyiarannya adalah manusia dengan berbagai strata, baik sosial, usia, budaya, jenis kelamin dan lain sebagainya, yang adalah khalayak. Oleh sebab itu, maka televisi juga disebut sebagai khalayak. 

Sebagai institusi, televisi adalah sekelompok manusia (khalayak) yang memiliki keinginan untuk memenuhi kebutuhan khalayaknya sebagai konsumer dari produknya yang diterjemahkan sebagai teks, didistribusikan melalui media penyiaran. 

 Oleh sebab itu, benang merah dari rangkaian televisi sebagai institusi, media, teks dan khalayak adalah pemaknaan dari hubungan antara keinginan dan kebutuhan. Hubungan antara keinginan dan kebutuhan inilah letak kunci sukses dari sebuah televisi penyiaran. Keinginan televisi sebagai institusi harus dapat menterjemahkan kebutuhan khalayaknya sebagai target dari produksi yang terimplementasi pada layar(media). 

Guna pemenuhan antara keinginan dan kebutuhan tersebut para pembuat kebijakan di institusi televisi harus memahami beberapa hal dibawah ini: 
1. apa itu televisi sebagai institusi; 
2. apa itu televisi sebagai media; 
3. apa itu televisi sebagai teks dan, 
4. apa itu televisi sebagai khalayak. 

Kehadiran tulisan yang sederhana ini, adalah jawaban bagi para pembuat kebijakan khususnya di televisi daerah. Tulisan ini disusun oleh praktisi yang telah berkecimpung selama puluhan tahun baik dalam mengemban tugas struktural maupan fungsional dalam berbagai bidang yang meliputi teknik operasional, perencanaan, produksi dan penyiaran.

Memahami apa yang tertuang dalam tulisan ini dan mendiskusikannya, menjadikan anda sebagai pioner pemenuhan akan kebutuhan khalayakyang sekaligus menciptakan insan televisi yang dapat memenuhi kebutuhan konten teknologi televisi digital yang sudah hadir dinegri ini..

Rabu, 12 Februari 2014

DISKUSI KUNO SYEKH SITI JENAR DAN KI AGENG PENGGING


Ini adalah diskusi spiritual tempo dulu antara kejawen dan islam yang disampaikan dua tokoh besar yaitu syeh siti jenar dan ki ageng kebo kenanga.

Inti pertanya’anya adalah..{dimanakah ALLAH itu ? ”}  Dan {dimanakah pintu kematian itu ?”}
Kangjeng Syeh Siti Jenar menanyakan kepada sahabat spiritualnya sekaligus sosok yg sudah dianggap sbg anaknya sendiri, yaitu Ki Ageng Pengging alias Ki Kebo Kenanga dengan menanyakan :

syeh siti jenar;
“Ana ing ngendi Allah ?” (Dimanakah Allah ?)

Ki ageng pengging;
Ki Ageng Pengging tersenyum, dia tidak menjawab namun malah melontarkan pertanyaan.
“Aneng ngendi dalaning Pati ?” (Dimanakah pintu kematian ?)

Keduanya terdiam, lantas tertawa bersama-sama….
Pertanyaan Kangjeng Syeh Siti Jenar, sebenarnya telah dijawab oleh Ki Ageng Pengging melalui sebuah pertanyaan. Kala Kangjeng Syeh Siti Jenar menanyakan DIMANAKAH ALLAH ?. Ki Ageng Pengging menjawab DIMANAKAH PINTU KEMATIAN ?
Pintu kematian tak lain ada dalam SANG HIDUP. Dari SANG HIDUP maka pintu kematian dan pintu kehidupan berada. ALLAH tak lain ada dalam SANG HIDUP/URIP. Karena ALLAH tak lain adalah HIDUP/URIP itu sendiri. Dan setiap makhluk merasakan HIDUP. Berarti ALLAH sebenarnya manunggal dengan seluruh makhluk.

Oleh karenanya keduanya lantas tertawa….
Dan manakala Kangjeng Syeh Siti Jenar kembali melontarkan pertanyaannya :
“Ana ing ngendi dununge URIP ?”(Dimanakah tempat SANG HIDUP ?)

Ki Ageng Pengging tersenyum dan menjawab :
“Ana ing galihing kangkung – Ana ing gigiring punglu – Ana ing tapaking kuntul anglayang – Ana ing susuhing angin ” (Berada dihatinya tumbuhan kangkung – Berada di sudut pelor/mimis – Berada di jejak burung bangau yang tengah terbang – Berada di tempat kediaman angin).

Dan kembali keduanya tertawa….hehehe..
Ada yang tahu tumbuhan kangkung ?. Tumbuhan Kangkung berlobang ditengahnya. Disanalah letak HIDUP.
Ada yang tahu sudut pelor/mimis yang buat ?. Sudut pelor/mimis yang bulat adalah semua bentuk tubuhnya. Disanalah letak HIDUP.
Ada yang tahu jejakn…kuntul mabur ?. di sanalah letak HIDUP.

Syeh Siti Jenar akhirnya memeluk Ki Ageng Pengging dengan penuh kecintaan luar biasa….

Tapi keduanya di eksekusi pemerintahan Demak Bintara dengan alasan MENYEBARKAN AJARAN SESAT dan HENDAK MENGADAKAN MAKAR KEPADA PEMERINTAHAN……

Konon ceritanya, keduanya menyempatkan waktu selama 3 hari untuk berdiskusi ttg pencapaian spiritualitas masing-masing. Kangjeng Syeh dengan Tasawuf Islam-nya sedangkan Ki Kebo Kenanga dengan ajaran Syiwa Buddha…Kangjeng Syeh bertandang ke Pengging, meninggalkan aktifitas mengajar para santri di Cirebon, dan Ki Ageng Pengging menyempatkan diri istirahat dari tugas-nya sebagai penguasa Pengging selama 3 hari….

Setelah tiga hari, mereka mendapatkan kesimpulan TAK ADA BEDA ISLAM DENGAN SYIWA BUDDHA. Dan diakhiri dengan membuat tumpeng Nasi Kuning sebagai simbol NING (HENING/ JERNIH)-nya Kesadaran Spiritual mereka yang sudah mencapai ranah universal. Yang masih belum mencapai ranah universal, sukanya ribut mulu, berebut kulit semata…

Sepenuhnya adalah simbolik. Maul Hayat : Air Hidup. Tirta Manikmaya : Air Pusat Illusi, siapakah pusat Illusi, tak lain adalah HIDUP. Mereguk Maul Hayat atau Tirta Manikmaya, artinya telah MEREGUK KESEJATIAN HAKIKAT SANG HIDUP/TUHAN/ALLAH

Makanya, dulu Kangjeng Sunan Kalijaga saat mewejangkan huruf Alif sebagai lambang TAUHID, KESATUAN SEMESTA, TIADA LAGI YANG LAIN DIDUNIA INI KECUALI ALLAH. Dan manakala Alif diberi garis atas (Fatkhah) maka bunyinya “A”. Jika dikasih garis …dibawah (Kashroh) maka bunyinya “I”, dan manakala diberi tanda seperti huruf sembilan diatas (Dlomah) maka bunyinya “U”. 

Kangjeng Sunan Kalijaga menjabarkan bahwa ALIF adalah TUHAN/ALLAH/URIP/SANG HIDUP. Tanda baca adalah makhluk-makhluk yang merupakan bagian dari TUHAN/ALLAH/URIP/SANG HIDUP. Jika tanda baca ini dirangkai maka akan berbunyi “A-I-U ” alias ” AKU IKI URIP (AKU INI HIDUP). Jadi makhluk-Nya pun sebenarnya adalah SANG HIDUP pula

MENGENAL FRANS WILHELM JUNGHUHN



“Tidak semua yang telah hilang, patut pula untuk tetap disimpan, di atas arus yang deras atau di atas perkamen; tetapi bagaimana normanya? Segala sesuatu, yang belum kehilangan fungsinya, patut diberi peluang hidup.” (Nietzsche)

“Betapa senangnya, betapa mudahnya hati ini tersentuh saat berada di atas gunung, sementara angin berhembus sepoi menerpa pohon kasuarina dan bintang berkelip menembus atap gubuk hijau tipis. Tiada genting yang menghalangi kita dari tatapan langit yang ramah. Tiada tembok gelap yang menyesakkan kita. Di sini kita bernafas lega dan bebas.” (Junghuhn di atas Gunung Kawi, 1844).

…Masih seperti hidup terkesan didalam benakku, hutan rimba nun disana yang terhias oleh hijau yang abadi beribu-ribu bunga, yang harumnya tidak pernah melemah; dengan telinga batinku aku mendengar angin laut mendesah diantara pohon-pohon pisang dan puncak-puncak pohon nyiur, deburnya air terjun, didaerah pedalaman yang jatuh dari ketinggian tebing-tebing gunung; seolah-olah saya menghirup hawa pagi yang sejuk, seakan-akan saya kembali berada dimuka gubuk orang jawa yang ramah, sedang sepi yang senyap masih meliputi hutan rimba yang mengelilingi diriku,-tinggi diatasku, diawang-awang kelompok-kelompok kalong dengan mengibas-ngibaskan sayapnya bergegas kembali kedaerah tempat bermukimnya disiang hari kemudian mulai ada kehidupan gerakan disengkuap tajuk dari, burung-burung merak meneriakkkan cuhungnya, kera-kera mulai lagi permainana yang lincah, sedang gema suaranya membangunkan gunung-gunung dengan nyanyian paginya, beribu-ribu burung mulai dengan kicaunnya, dan sebelum matahari mewarnai langit timur, puncak yang megah dari gunung disana telah terpulas dengan emas dan merah cerah, dari ketinggian dia memandang diriku seperti kenalan lama,- kerinduanku menanjak dan dengan haus kuharapkan datangnya hari, waktu dimana aku dapat mengatakan.. :
"salamku untukmu, gunung-gunung, "

FRANS JUNGHUNN
leiden, November 1851

Masih jelas dalam ingatanku kesan pemandangan hutan-hutan Pulau Jawa yang tak putusnya diselubungi kehijau-hijauan alami yang mempesona.
Juga pada beribu-ribu bunga di dalamnya yang senantiasa menyebarkan wewangian dan aroma asli nan penuh nikmat."

Jelas juga dalam ingatanku berisiknya daun-daun yang diembus angin laut yang lembut, meniup sela-sela pepohonan pisang sampai ke pucuk-pucuk pepohonan kelapa.
Jauh di dalam hutan terdengar tak henti-hentinya suara gemuruh jatuhnya air terjun dari lereng gunung yang terjal ke sungai yang berbatu-batu.

Kera-kera mulai dengan permainannya dari pohon ke pohon, burung-burung merak beterbangan menambah keramaian dengan suaranya yang keras.
Beribu-ribu burung juga tak mau kalah, berkicau dengan asyiknya seolah-olah berlomba untuk menyambut datangnya Sang Surya.

Mengalami semua ini, aku sungguh-sungguh merasa seolah-olah kami sudah lama berkenalan, dan aku tak dapat berbuat lain selain menundukkan kepala dan berdoa, berterima kasih kepada Sang Pencipta.

Kini timbul dalam hati sanubariku perasaan rindu dan hasrat kuat untuk kembali ke tempat itu, dan memuja: Hai gunung-gunung dan hutan-hutan, salam cinta dan terima kasih, sampai jumpa lagi  !

 DEDIKASI DAN SEMANGAT TINGGI

Dengan dedikasi dan semangat tinggi, Junghuhn membikin sejarah baru bidang  farmakologi lewat pengembangan budi daya tanaman kina. Bandung yang disebutnya "Parijs van Java" kian tersohor di mancanegara mengingat sebelum Perang Dunia II dikenal sebagai gudang bubuk kina. Sebab, sekitar 90 persen kebutuhan bubuk kina dunia dicukupi oleh perkebunan kina di wilayah sekitar Bandung.

Di samping tugasnya sebagai dokter, tak hanya sebagai ilmuwan, Junghuhn juga seorang pendaki, pelukis, dan fotografer andal. Junghuhn yang memang menyukai alam menyempatkan diri untuk mengunjungi berbagai daerah di Jawa, Dengan dana yang terbatas, Junghuhn tetap menjelajahi Jawa yang saat itu masih penuh dengan hutan belantara. sebut saja Rongkop, Imogiri, Prambanan, Salatiga, Magelang, dan Borobudur Ia pun menyusuri Pelabuhan Ratu, Priangan, Cirebon, serta meneliti gunung-gunung di Pulau Jawa seperti Patuha, Tangkuban Perahu, Papandayan, Galunggung, dan Ciremai. Ia mendokumentasikan semua yang pernah dikunjunginya. dengan sangat detail gunung-gunung yang pernah ia daki dengan foto atau lukisan, bahkan tempat-tempat yang sekiranya bagus yang pernah ia kunjungi. Lukisan-lukisan alam tentang Gunung Sumbing berawan nan sederhana, lukisan Candi Selo Grio yang rumit, hingga lanskap Jalan Raya Pos tergambar dengan jelas. Sangat realis. Hanya ada tiga gunung yang tidak sempat dijelajahi Junghuhn, selebihnya semua dijelajahinya. Karena tidak punya dana untuk membeli peralatan yang menunjang ekspedisinya, Junghuhn menggunakan peralatan seadanya. Sebagai contohnya untuk menggantikan barometer, ia menggunakan potongan bambu dan gelas kaca, tidak diketahui cairan yang digunakan Junghuhn, dan benda ‘barometer’ tersebut harus tetap dijaga agar cairannya senantiasa datar meskipun harus mendaki gunung-gunung terjal. Hebatnya lagi ia tidak pernah mengenyam pendidikan tersebut di pendidikan formal, semuanya ia pelajari sendiri.
Dari hasil perjalanannya tersebut ia menghasilkan peta pulau Jawa yang sangat spesifik. Bahkan jika dibandingkan dengan foto NASA tahun 2007, tidak banyak perbedaannya. Peta tersebut sangat detail, mulai dari ketinggian gunung, kontur-konturnya hingga jumlah penduduk pada saat peta dibuat.  Tahun 1845, saat itu, daerah bernama Ujung Berung Kulon (sekarang di tempat itu berdirilah ITB) memiliki sensus 18.000 jiwa, sementara Banjaran 17.000 jiwa, dan Ujung Berung Wetan 12.000 jiwa. Kota-kota besar seperti Surabaya, Semarang, dan Jakarta masing-masing dihuni oleh 100.000, 70.000, dan 59.000 jiwa. Selain peta, Junghuhn juga membuat diagram profil ketinggian Pulau Jawa, perbandingan antara gunung yang satu dan gunung lainnya begitu memukau, ia pun membuat perbandingan jika pulau jawa ditenggelamkan hingga 100.000 kaki ke dalam laut (notes: pada kedalaman 2000 kaki, Bandung akan menjadi kota pelabuhan).
Menurut Roman Roesener dari Goethe Institut Jakarta, setidaknya 46 gunung dari 56 gunung di Pulau Jawa, mulai Ujung Kulon hingga Banyuwangi, sudah didaki Junghuhn. Selain merekam perjalanan lewat foto, Junghuhn juga memetakan dan mengukur ketinggian gunung berikut lanskap.

Betapa hebatnya peta Junghuhn tersebut pada zamannya, sehingga tak kurang dari Alexander von Humboldt (naturalis dan geographer terkenal di dunia) mengomentari peta Jawa Junghuhn sebagai berikut,”Betapa besar rasa terima kasihku kepada Junghuhn atas peta yang indah, sungguh geologis, beraneka ragam bentuk. Setelah sebuah makan malam, Raja, Pangeran Friedrich dari Belanda, Menteri Peperangan, dan banyak Jenderal mengagumi peta ini sebagai sebuah karya yang sangat luar biasa,” (Berlin, 20 April 1857).

Dietmar Henze (1975) menilai karya Junghuhn adalah laporan perjalanan geografis di Jawa yang paling berbobot pada zamannya. "Benar-benar buku pertama yang dapat merumuskan dengan jitu kesan pulau ini secara konseptual dan visual."
sosok Junghuhn yang tidak hanya seorang Botanist, namun juga seorang Kartografis, Geologis, dan ahli Klimatologis. Junghuhn juga seorang pelukis alam yang hebat, ia selalu menggambarkan gunung-gunung yang didakinya tanpa melupakan detail-detail kecil.

PERIODISASI HIDUP JUNGHUHN
I. PERIODE PENCARIAN JATI DIRI
26 Oktober 1809         sebagai putra sulung seorang dokter dan pemangkas rambut, Wilhelm Friedrich Junghuhn lahir di Mansfeld dekat Pegunungan Harz  Jerman
Awal tahun 1829,       dia drop out dari sekolahnya dan sempat mencoba bunuh diri, yang konon katanya dipicu gara-gara bertengkar dengan ayahnya
1830                            ia kembali kuliah di kedokteran Berlin
Desember 1831           usia 22 tahun, Junghuhn dipenjara akibat berduel dengan rekan mahasiswanya seorang Swiss bernama Schwoerer. di sebuah restoran. Ia terkena luka tembak namun lawannya bunuh diri sebelum ditangkap
Januari 1832                Junghuhn dihukum 10 tahun di benteng Ehrenbreitstein di atas kota Koblenz
September 1833          Baru 20 bulan di penjara, ia berhasil melarikan diri ke Belgia. Dari sana ia menuju ke Prancis dan bergabung dengan Legiun Tentara Bayaran.   
1833                            Ia masuk legiun asing dan ditempatkan di Aljazair   
1834                            Ia diberhentikan lagi dari legion.

II. PERIODE EXPEDISI
1834                            Ia pergi ke Paris, dan Suatu waktu di Paris ia berkenalan dengan ahli botanika Belanda bernama Christian Hendrik Persoon yang menganjurkannya untuk pergi ke Hindia-Belanda.     
1834                            ia masuk dinas kesehatan pada tentara penjajahan Belanda
1835                            Seusai kuliah, 12 Januari 1835 Junghuhn diangkat menjadi dokter militer tingkat III. Dan tiba di Batavia, ia bertugas dalam dinas kesehatan di Batavia Ia menjadi dokter di rumah sakit tentara Weltevreden (kini Menteng). dan Selama masa tugasnya ia bekerja di Rumah Sakit Yogyakarta
1837-1838                   ia bekerja sebagai dokter di bawah Dr. Fritze , kepala lembaga kesehatan masyarakat di Hindia Belanda, sekaligus sebagai seorang geologist amatir, Junghuhn mulai berminat kepada geologi. Jughuhn diangkat sebagai asisten untuk lawatan inspeksi kesehatan. Dr. Fritze membawanya menelusuri Jawa sebagai inspeksi kesehatan sekaligus memuaskan hasratnya kepada geologi. Mereka mendaki banyak gunungapi dan mendatangi banyak tempat di Jawa. Selama lawatan ini, kedua dokter ini melakukan pengobatan, meneliti botani dan geologi.
Juli 1838,                     Junghuhn diangkat sebagai anggota sementara Komisi Ilmu Alam dengan syarat semua tanaman dan batuan yang dikumpulkannya menjadi milik Komisi. Bekerja untuk Komisi ini sangat menyukakan Junghuhn, sebab selain gajinya lebih besar daripada menjadi dokter (gaji 300 gulden), penyelidikan alam adalah nalurinya. Junghuhn pun makin banyak menyumbangkan tulisan ilmiah baik tentang gunung-gunung maupun tentang tumbuhan, yang dimuat dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie -jurnal bergengsi saat itu.
Oktober 1839              Junghuhn dikeluarkan dari Komisi Ilmu Alam dan diperintahkan untuk menjadi dokter kembali. Atas intrik dari C.L. Blume, kepala herbarium Kerajaan Belanda, Keharuman nama Junghuhn mulai mengundang rasa iri ilmuwan lain. Junghuhn segera mengirimkan semua koleksi tumbuhan dan batuannya ke Jerman, agar tak jatuh ke tangan Herbarium Kerajaan Belanda. Perselisihan dengan Blume ini terjadi sepanjang hayat mereka.
pertengahan 1840        Junghuhn dipindah ke Padang, di mana ia ditugaskan oleh gubernur Pieter Merkus pergi ke daerah Batak dan meyelidikinya, karena pada waktu itu bagian Sumatera itu masih kurang terkenal. Hermann von Rosenberg, seorang penyelidik alam berkebangsaan Jerman disuruh mendampingi Junghuhn, meskipun von Rosenberg terpaksa mambatalkannya karena suatu peristiwa dalam kegiatan berburu, yang berakibatkan ia jatuh sakit. Makanya Junghuhn berangkat sendirian dan selama satu tahun setengah, selama ekspedisinya berlangsung hanya diiringi pendamping-pendamping pribumi saja. Ia hanya dapat menjelajahi bagian Selatan dari daerah Batak, sebabnya masyarakat Batak di bagian Utara menghalanginya dari masuk ke pedalaman. Perjalanan ke daerah Batak juga dipersulitkan oleh akibat perang Paderi, yang baru berakhir pada tahun 1838 dan meninggalkan pada suku Batak suatu trauma terhadap orang dari luar. Perjalanan kaki Junghuhn melalui hutan belantara dan pegunungan di daerah Batak pada waktu itu sangat melelahkan dan penuh jerih payah. Tenaga fisik dan psikis Junghuhn dan para pendampingnya ditantang secara sangat berat. Dari 17 bulan, ia berada di daerah itu, ia terpaksa menghabiskannya selama sepuluh bulan di tempat tidur untuk merawat kakinya yang terkena sakit parah. Dalam segala tulisannya ia menunjukkan simpati besar kepada orang Batak. Ia menghargai tinggi keramahan mereka terhadap orang tamu, spontanitasnya, keramah-tamahannya dan juga keterbukaannya. Ia mengagumi bahasa baku mereka, tetapi tidak dapat memahami kenapa mereka menggemari kanibalisme. Agaknya kanibalisme mereka cuma sebuah legenda, yang disebarluaskan oleh masyarakat Batak sendiri untuk menghalangi orang-orang luar dari masuk ke daerah mereka.
Juni 1842                     Junghuhn kembali di Batavia. Pemerintah kolonial Belanda menugaskan dia dengan pengukuran topografis Jawa Barat, kemudian juga Jawa Timur.
Januari 1844,               Junghuhn diangkat kembali sebagai anggota Komisi Ilmu Alam, bahkan kini sebagai anggota tetap. Perintah ini datang langsung dari Gubernur Jenderal Pieter Merkus yang mengenal dengan baik naluri, minat dan keahlian Junghuhn yang sesungguhnya. Meskipun demikian, intrik di antara para ilmuwan rupanya selalu terjadi, beberapa orang berusaha mengirimkannya ke Ambon sebagai seorang dokter. Namun selama para Gubernur Jenderal yang berkuasa menyukai karya-karya Junghuhn tentang botani dan geologi, ia aman tetap melakukan penelitian di Jawa.
Mei 1845                     ia diangkat resmi sebagai anggota „Natuurkundige Commissie“ di Batavia. Dari gubernur jenderal Rochussen ia beri tugas untuk mencari tambang batubara  di pulau Jawa, 

III. PERIODE PENULISAN DAN PENERBITAN BUKU
Agustus 1848              Setelah 13 tahun melakukan berbagai penelitian botani dan geologi di Jawa, kesehatan Junghuhn menurun dan ia kembali ke Eropa. Junghuhn diberikan cuti sakit untuk memulihkan kesehatannya di Belanda. Tetapi Junghuhn setelah cukup sehat, ia meneruskan beberapa tahun lagi tinggal di Belanda-Leiden, untuk meneliti semua sampel botani dan geologinya yang ditemukan oleh Junghuhn di pulau Jawa dan Sumatera „Plantae Junghunianae“, sambil menyusun buku yang nantinya akan menjadi magnus opus Junghuhn : Jawa.
Januari 1850                Junghuhn menikah dengan Johanna Frederica di kota Leiden 
1950                                                        JAWA ; Buku edisi pertamanya tentang Jawa terbit dalam bahasa Belanda    
1854                            disusun edisi berikutnya yang lebih lengkap dan luas Tetapi, intrik ilmuwan rupanya terus mengikutinya. Karya monumentalnya itu harus dimuat dalam Proceedings on Natural History of the Dutch Colonial Possesions, dan tanpa nama penulisnya. Maka penelitian Junghuhn selama 13 tahun di Jawa terancam anonim. Tetapi selalu ada orang yang membela Junghuhn, kali ini datang dari Menteri Kolonial E.B.van den Bosch yang bahkan memerintahkan Junghuhn menerbitkan karya monumentalnya tentang Jawa dalam publikasi tersendiri dan tentu saja dengan nama Junghuhn sebagai penulisnya. Namun, yang namanya pertolongan ternyata tidak gratis juga : Junghuhn harus menanggalkan kewarganegaraan Jerman dan menerima kewarganegaraan Belanda. Permintaan itu bukan merupakan masalah bagi Junghuhn,
Agustus 1853              ia diberikan kewarganegaraan Belanda. Karena kerjaan untuk menyelesaikan rumusan terakhir karya utamanya „Java - seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart“
1850 s/d 1854             „Java - seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart“itu baru diterbitkan di Amsterdam dalam versi Belanda
1852 s/d 1854             Sementara di Leipzig rekannya dari Jerman Karl Hasskarl menerjemahkan buku-bukunya ke dalam bahasa Jerman.

IV. PERIODE PEMBUDIDAYAAN KINA
1850                            Setelah kembali ke Jerman Hasskarl mendapat tugas berbahaya dari pemerintah Belanda yang sebenarnya di luar legalitas. Ia diperintahkan membawa benih dan bibit pohon kina dari Peru ke Jawa. Peru yang ketika itu memiliki monopoli atas pohon kina melarang ekspor kulit pohon kina. Sejak lama kulit pohon kina dipakai sebagai bahan dasar untuk obat malaria. Semakin banyak orang Eropa bekerja di daerah tropis, bubuk putih dari kulit pohon ini, yang disebut kinine, semakin laku.
1854                            peta yang merupakan sebagian dari karya itu Serentak dicetak, sedangkan peta besar pulau Jawa baru keluar setahun kemudian,
1854                            Junghuhn mengarang sebuah karya dengan pandangannya tentang agama primordial (Naturreligion) berlawanan dengan tradisi agama kristen. Buku itu berjudul „Licht- und Schattenbilder aus dem Innern von Java“.
1855.                           peta besar pulau Jawa baru keluar
18…..                          Hasskarl berhasil membawa benih dan bibit pohon kina dalam 121 peti ke Jawa. Namun hanya 70 tumbuhan selamat. Pohon itupun ditanam di Cibodas.
Mei 1855                     Di Belanda lan Junghuhn berhasil menyelesaikan peta topografi Jawanya yang terkenal itu, disusun dalam empat lembar peta dengan ukuran panjang hampir 4 meter dan lebar 1 meter. Ini adalah peta terlengkap dan terbaik tentang Jawa dan Madura pada masanya. Peta topografi tanpa warna dijual seharga 12 gulden dan peta geologi dengan warna dijual seharga 14 gulden.
Juni 1855                     memulai bagian kedua petualangan hidupnya di Jawa. Ia ditugaskan sebagai inspektur penyelidikan alam di Pulau Jawa Junghuhn sekarang seorang naturalis bereputasi internasional, mendapatkan beberapa penghargaan dan jadi anggota sejumlah lembaga ilmiah.
30 Agustus 1855         Junghuhn dan istrinya meninggalkan Eropa untuk selamanya dan kembali ke Jawa dengan tugas baru sebagai Inspektur untuk Penelitian Alam di Jawa.
Juni 1856,                    Junghuhn ditunjuk sebagai Kepala Budidaya Kina di Jawa menggantikan Justus Hasskarl yang karena kesehatannya tidak memungkinkan memikul tugas berat dan ia  pun kembali ke Eropa.
1857                            ia secara resmi ditugaskan untuk pengawasan perkebunan cinchona. Ia langsung merubah pola/prosedur penanaman percobaan yang diterapkan J.K. Hasskarl, pendahulunya, Tugas itu beralih pada Junghuhn. Yang kemudian memindah perkebunan cinchona ke daerah pegunungan yang lebih tinggi dan menyuruh menanam semaian-semaian di dalam keteduhan hutan.
1857                            ia bermukim di lembang bersama istri dan satu-satunya putranya dan puteranya Frans Christiaan
Mulai tahun 1858,       Junghuhn pun punya kegemaran baru, fotografi. Ia mengembangkan sendiri peralatan fotografinya dan cara mengolahnya. Junghuhn berhasil memotret dengan baik.
1858 s/d1862              Johan Eliza de Vrij seorang farmakolog ternama menjadi penasihat proyek cinchona itu. De Vrij menyarankan memilih jenis cinchona lain yang lebih produktif. Tetapi pada waktu itu spesies cinchona ledgeriana belum tersedia, yang kelak memungkinkan peningkatan penghasilan kinine di pulau Jawa, sehingga pada akhir abad ke-19 kontribusi dari Nederlands Indie mencapai dua pertiga dari penghasilan kinine sedunia. Sayang sekali proyek perkebunan cinchona baru menjadi sukses beberapa tahun sesudah Junghuhn meninggal. Meskipun begitu jasanya, yang tak pernah akan memudar, adalah promosi tegas serta konsolidasinya proyek cinchona sehingga pengikut-pengikutnya dapat melanjutkannnya atas dasar prestasi Junghuhn. Sepatutnya ia dapat dianggap perintis perkebunan cinchona di Pulau Jawa
akhir tahun 1861         kena infeksi amoeba dan sejak waktu itu tidak dapat sembuh lagi.  
24 April 1864              Ia wafat dalam usia baru 54 tahun di rumahnya di Lembang. karena disentri amuba dan penyakit ususnya yang menahun pukul tiga dini hari di sebuah rumah yang terpencil, jauh dari para tetangga, di lereng Tangkuban Perahu, Lembang Sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya, ia meminta kepada sahabat terbaiknya Dokter yang merawatnya sekaligus sahabatnya, Isaak Groneman untuk membukakan jendela rumah pada subuh itu, ”Bukakan jendela itu, agar aku bisa menatap Tangkuban Perahu untuk yang terakhir kalinya, dan biar kuhirup udaranya yang bersih.”; Junghuhn menghembuskan nafasnya yang terakhir.
1898                            Seorang dokter asal Swiss, E. Haffter tiba di Lembang, 34 tahun setelah meninggalnya Junghuhn, melaporkan, lebih dari dua juta pohon kina telah digunakan untuk produksi kinine. Sampai pada tahun 40-an, menjelang pecahnya perang dunia kedua, perkebunan di sekitar Bandung menghasilkan bahan baku bagi 90 persen produksi kinine di seluruh dunia. Untuk waktu yang lama kinine merupakan satu-satunya obat pemberantas malaria. Monopoli kina yang diasosiasikan dengan nama Bandung, baru berhasil dipatahkan setelah ditemukan obat malaria sintetis. Untuk pengembangannya perusahaan farmasi Jerman juga memainkan peranan penting.
                                    Dr. Ir. G.P. Wenten Astika dari Pusat Penelitian Teh dan Kina menggambarkan pasokan kina dari Indonesia hanya sekitar 5% di dunia. Padahal sebelum perang dunia ke-2, Indonesia bisa memasok 95%. Karena waktu itu Indonesia memonopoli pasaran kulit kina. Sekarang sudah banyak negara yang mengusahakan kina, seperti Rwanda, Afrika Selatan, Zaire lalu India juga, sehingga persaingannya semakin tajam.

Dari Junghuhn, kita bisa belajar tentang kecintaan, kesungguhan, dan ketekunan kepada ilmu pengetahuan.
“Hanya di ketinggian pegunungan, aku dapat bahagia !” (Junghuhn, dalam “Ruckreise” - Perjalanan Pulang).