“Tidak semua
yang telah hilang, patut pula untuk tetap disimpan, di atas arus yang deras
atau di atas perkamen; tetapi bagaimana normanya? Segala sesuatu, yang belum
kehilangan fungsinya, patut diberi peluang hidup.” (Nietzsche)
“Betapa senangnya, betapa mudahnya
hati ini tersentuh saat berada di atas gunung, sementara angin berhembus sepoi
menerpa pohon kasuarina dan bintang berkelip menembus atap gubuk hijau tipis. Tiada
genting yang menghalangi kita dari tatapan langit yang ramah. Tiada tembok
gelap yang menyesakkan kita. Di sini kita bernafas lega dan bebas.” (Junghuhn
di atas Gunung Kawi, 1844).
…Masih seperti hidup terkesan didalam benakku, hutan rimba nun disana yang
terhias oleh hijau yang abadi beribu-ribu bunga, yang harumnya tidak pernah
melemah; dengan telinga batinku aku mendengar angin laut mendesah diantara
pohon-pohon pisang dan puncak-puncak pohon nyiur, deburnya air terjun, didaerah
pedalaman yang jatuh dari ketinggian tebing-tebing gunung; seolah-olah saya
menghirup hawa pagi yang sejuk, seakan-akan saya kembali berada dimuka gubuk
orang jawa yang ramah, sedang sepi yang senyap masih meliputi hutan rimba yang
mengelilingi diriku,-tinggi diatasku, diawang-awang kelompok-kelompok kalong
dengan mengibas-ngibaskan sayapnya bergegas kembali kedaerah tempat bermukimnya
disiang hari kemudian mulai ada kehidupan gerakan disengkuap tajuk dari,
burung-burung merak meneriakkkan cuhungnya, kera-kera mulai lagi permainana
yang lincah, sedang gema suaranya membangunkan gunung-gunung dengan nyanyian
paginya, beribu-ribu burung mulai dengan kicaunnya, dan sebelum matahari
mewarnai langit timur, puncak yang megah dari gunung disana telah terpulas
dengan emas dan merah cerah, dari ketinggian dia memandang diriku seperti
kenalan lama,- kerinduanku menanjak dan dengan haus kuharapkan datangnya hari,
waktu dimana aku dapat mengatakan.. :
"salamku untukmu, gunung-gunung, "
"salamku untukmu, gunung-gunung, "
FRANS JUNGHUNN
leiden, November 1851
Masih jelas dalam ingatanku kesan
pemandangan hutan-hutan Pulau Jawa yang tak putusnya diselubungi kehijau-hijauan alami yang mempesona.
Juga pada beribu-ribu bunga di dalamnya yang
senantiasa menyebarkan wewangian dan aroma asli nan penuh nikmat."
Jelas juga dalam ingatanku berisiknya daun-daun yang diembus angin laut yang lembut, meniup sela-sela pepohonan pisang sampai ke pucuk-pucuk pepohonan kelapa.
Jauh di dalam hutan terdengar tak
henti-hentinya suara gemuruh jatuhnya air terjun dari lereng gunung yang terjal
ke sungai yang berbatu-batu.
Kera-kera mulai dengan permainannya dari pohon ke pohon, burung-burung merak beterbangan menambah keramaian dengan suaranya yang keras.
Beribu-ribu
burung juga tak mau kalah, berkicau dengan asyiknya seolah-olah berlomba untuk
menyambut datangnya Sang Surya.
Mengalami semua ini, aku sungguh-sungguh merasa seolah-olah kami sudah lama berkenalan, dan aku tak dapat berbuat lain selain menundukkan kepala dan berdoa, berterima kasih kepada Sang Pencipta.
Kini timbul dalam hati sanubariku perasaan rindu dan hasrat kuat untuk kembali ke tempat itu, dan memuja: Hai gunung-gunung dan hutan-hutan, salam cinta dan terima kasih, sampai jumpa lagi !
DEDIKASI DAN SEMANGAT TINGGI
Dengan dedikasi
dan semangat tinggi, Junghuhn membikin sejarah baru bidang farmakologi lewat pengembangan budi daya
tanaman kina. Bandung yang disebutnya "Parijs van Java" kian tersohor
di mancanegara mengingat sebelum Perang Dunia II dikenal sebagai gudang bubuk
kina. Sebab, sekitar 90 persen kebutuhan bubuk kina dunia dicukupi oleh
perkebunan kina di wilayah sekitar Bandung.
Di samping tugasnya sebagai
dokter, tak hanya sebagai ilmuwan, Junghuhn juga seorang pendaki, pelukis, dan
fotografer andal. Junghuhn yang memang menyukai alam menyempatkan diri untuk
mengunjungi berbagai daerah di Jawa, Dengan dana yang terbatas, Junghuhn tetap
menjelajahi Jawa yang saat itu masih penuh dengan hutan belantara. sebut saja
Rongkop, Imogiri, Prambanan, Salatiga, Magelang, dan Borobudur Ia pun menyusuri
Pelabuhan Ratu, Priangan, Cirebon,
serta meneliti gunung-gunung di Pulau Jawa seperti Patuha, Tangkuban Perahu,
Papandayan, Galunggung, dan Ciremai. Ia mendokumentasikan semua yang pernah
dikunjunginya. dengan sangat detail gunung-gunung yang pernah ia daki dengan
foto atau lukisan, bahkan tempat-tempat yang sekiranya bagus yang pernah ia
kunjungi. Lukisan-lukisan alam tentang Gunung Sumbing berawan nan sederhana,
lukisan Candi Selo Grio yang rumit, hingga lanskap Jalan Raya Pos tergambar
dengan jelas. Sangat realis. Hanya ada tiga gunung yang tidak sempat dijelajahi
Junghuhn, selebihnya semua dijelajahinya. Karena tidak punya dana untuk membeli
peralatan yang menunjang ekspedisinya, Junghuhn menggunakan peralatan seadanya.
Sebagai contohnya untuk menggantikan barometer, ia menggunakan potongan bambu
dan gelas kaca, tidak diketahui cairan yang digunakan Junghuhn, dan benda
‘barometer’ tersebut harus tetap dijaga agar cairannya senantiasa datar
meskipun harus mendaki gunung-gunung terjal. Hebatnya lagi ia tidak pernah
mengenyam pendidikan tersebut di pendidikan formal, semuanya ia pelajari
sendiri.
Dari hasil perjalanannya
tersebut ia menghasilkan peta pulau Jawa yang sangat spesifik. Bahkan jika
dibandingkan dengan foto NASA tahun 2007, tidak banyak perbedaannya. Peta
tersebut sangat detail, mulai dari ketinggian gunung, kontur-konturnya hingga
jumlah penduduk pada saat peta dibuat. Tahun 1845, saat itu, daerah
bernama Ujung Berung Kulon (sekarang di tempat itu berdirilah ITB) memiliki
sensus 18.000 jiwa, sementara Banjaran 17.000 jiwa, dan Ujung Berung Wetan
12.000 jiwa. Kota-kota besar seperti Surabaya, Semarang, dan Jakarta
masing-masing dihuni oleh 100.000, 70.000, dan 59.000 jiwa. Selain peta,
Junghuhn juga membuat diagram profil ketinggian Pulau Jawa, perbandingan antara
gunung yang satu dan gunung lainnya begitu memukau, ia pun membuat perbandingan
jika pulau jawa ditenggelamkan hingga 100.000 kaki ke dalam laut (notes:
pada kedalaman 2000 kaki, Bandung akan menjadi kota pelabuhan).
Menurut Roman Roesener dari Goethe Institut
Jakarta, setidaknya 46 gunung dari 56 gunung di Pulau Jawa, mulai Ujung Kulon
hingga Banyuwangi, sudah didaki Junghuhn. Selain merekam perjalanan lewat foto,
Junghuhn juga memetakan dan mengukur ketinggian gunung berikut lanskap.
Betapa hebatnya
peta Junghuhn tersebut pada zamannya, sehingga tak kurang dari Alexander von
Humboldt (naturalis dan geographer terkenal di dunia) mengomentari peta Jawa
Junghuhn sebagai berikut,”Betapa besar rasa terima kasihku kepada Junghuhn atas
peta yang indah, sungguh geologis, beraneka ragam bentuk. Setelah sebuah makan
malam, Raja, Pangeran Friedrich dari Belanda, Menteri Peperangan, dan banyak
Jenderal mengagumi peta ini sebagai sebuah karya yang sangat luar biasa,”
(Berlin, 20 April 1857).
Dietmar Henze (1975) menilai karya Junghuhn adalah
laporan perjalanan geografis di Jawa yang paling berbobot pada zamannya.
"Benar-benar buku pertama yang dapat merumuskan dengan jitu kesan pulau
ini secara konseptual dan visual."
sosok
Junghuhn yang tidak hanya seorang Botanist, namun juga seorang Kartografis,
Geologis, dan ahli Klimatologis. Junghuhn juga seorang pelukis alam yang hebat,
ia selalu menggambarkan gunung-gunung yang didakinya tanpa melupakan
detail-detail kecil.
PERIODISASI HIDUP JUNGHUHN
I. PERIODE PENCARIAN JATI DIRI
26 Oktober 1809 sebagai putra sulung seorang
dokter dan pemangkas rambut, Wilhelm Friedrich Junghuhn lahir di Mansfeld dekat Pegunungan Harz
Jerman
Awal tahun 1829, dia drop out
dari sekolahnya dan sempat mencoba bunuh diri, yang konon katanya dipicu
gara-gara bertengkar dengan ayahnya
1830 ia kembali kuliah di kedokteran Berlin
Desember 1831 usia 22 tahun, Junghuhn dipenjara akibat berduel dengan rekan mahasiswanya seorang
Swiss bernama Schwoerer. di sebuah restoran. Ia terkena luka tembak namun
lawannya bunuh diri sebelum ditangkap
September 1833 Baru 20 bulan di penjara, ia berhasil
melarikan diri ke Belgia. Dari sana ia menuju ke Prancis dan bergabung dengan
Legiun Tentara Bayaran.
1834 Ia diberhentikan
lagi dari legion.
II. PERIODE EXPEDISI
1834 Ia pergi ke Paris,
dan Suatu waktu di Paris
ia berkenalan dengan ahli botanika Belanda bernama Christian Hendrik Persoon
yang menganjurkannya untuk pergi ke Hindia-Belanda.
1834 ia masuk dinas kesehatan pada tentara
penjajahan Belanda
1835 Seusai kuliah, 12 Januari 1835 Junghuhn
diangkat menjadi dokter militer tingkat III. Dan tiba di Batavia,
ia bertugas dalam dinas kesehatan di Batavia
Ia menjadi dokter di rumah sakit
tentara Weltevreden (kini Menteng). dan Selama masa tugasnya ia bekerja di
Rumah Sakit Yogyakarta
1837-1838 ia bekerja sebagai dokter di bawah Dr. Fritze ,
kepala lembaga kesehatan masyarakat di Hindia Belanda, sekaligus sebagai seorang
geologist amatir, Junghuhn mulai berminat kepada geologi. Jughuhn diangkat
sebagai asisten untuk lawatan inspeksi kesehatan. Dr. Fritze membawanya
menelusuri Jawa sebagai inspeksi kesehatan sekaligus memuaskan hasratnya kepada
geologi. Mereka mendaki banyak gunungapi dan mendatangi banyak tempat di Jawa.
Selama lawatan ini, kedua dokter ini melakukan pengobatan, meneliti botani dan
geologi.
Juli 1838, Junghuhn diangkat sebagai anggota sementara
Komisi Ilmu Alam dengan syarat semua tanaman dan batuan yang dikumpulkannya
menjadi milik Komisi. Bekerja untuk Komisi ini sangat menyukakan Junghuhn,
sebab selain gajinya lebih besar daripada menjadi dokter (gaji 300 gulden),
penyelidikan alam adalah nalurinya. Junghuhn pun makin banyak menyumbangkan
tulisan ilmiah baik tentang gunung-gunung maupun tentang tumbuhan, yang dimuat
dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie -jurnal bergengsi saat itu.
Oktober 1839 Junghuhn dikeluarkan dari Komisi
Ilmu Alam dan diperintahkan untuk menjadi dokter kembali. Atas intrik dari C.L.
Blume, kepala herbarium Kerajaan Belanda, Keharuman nama Junghuhn mulai
mengundang rasa iri ilmuwan lain. Junghuhn segera mengirimkan semua koleksi
tumbuhan dan batuannya ke Jerman, agar tak jatuh ke tangan Herbarium Kerajaan
Belanda. Perselisihan dengan Blume ini terjadi sepanjang hayat mereka.
pertengahan 1840 Junghuhn dipindah ke Padang, di mana ia
ditugaskan oleh gubernur Pieter Merkus
pergi ke daerah Batak dan meyelidikinya, karena pada waktu itu bagian Sumatera
itu masih kurang terkenal. Hermann von Rosenberg,
seorang penyelidik alam berkebangsaan Jerman disuruh mendampingi Junghuhn,
meskipun von Rosenberg
terpaksa mambatalkannya karena suatu peristiwa dalam kegiatan berburu, yang
berakibatkan ia jatuh sakit. Makanya Junghuhn berangkat sendirian dan selama
satu tahun setengah, selama ekspedisinya berlangsung hanya diiringi pendamping-pendamping
pribumi saja. Ia hanya dapat menjelajahi bagian Selatan dari daerah Batak,
sebabnya masyarakat Batak di bagian Utara menghalanginya dari masuk ke
pedalaman. Perjalanan ke daerah Batak juga dipersulitkan oleh akibat perang Paderi, yang baru
berakhir pada tahun 1838 dan meninggalkan pada suku Batak suatu trauma terhadap
orang dari luar. Perjalanan kaki Junghuhn melalui hutan belantara dan
pegunungan di daerah Batak pada waktu itu sangat melelahkan dan penuh jerih
payah. Tenaga fisik dan psikis
Junghuhn dan para pendampingnya ditantang secara sangat berat. Dari 17 bulan,
ia berada di daerah itu, ia terpaksa menghabiskannya selama sepuluh bulan di
tempat tidur untuk merawat kakinya yang terkena sakit parah. Dalam segala
tulisannya ia menunjukkan simpati besar kepada orang Batak. Ia menghargai
tinggi keramahan mereka terhadap orang tamu, spontanitasnya, keramah-tamahannya
dan juga keterbukaannya. Ia mengagumi bahasa baku mereka, tetapi tidak dapat
memahami kenapa mereka menggemari kanibalisme. Agaknya kanibalisme mereka cuma
sebuah legenda, yang disebarluaskan oleh masyarakat Batak sendiri untuk
menghalangi orang-orang luar dari masuk ke daerah mereka.
Juni 1842 Junghuhn
kembali di Batavia. Pemerintah
kolonial Belanda menugaskan dia dengan pengukuran topografis Jawa Barat,
kemudian juga Jawa Timur.
Januari 1844, Junghuhn
diangkat kembali sebagai anggota Komisi Ilmu Alam, bahkan kini sebagai anggota
tetap. Perintah ini datang langsung dari Gubernur Jenderal Pieter Merkus yang
mengenal dengan baik naluri, minat dan keahlian Junghuhn yang sesungguhnya.
Meskipun demikian, intrik di antara para ilmuwan rupanya selalu terjadi,
beberapa orang berusaha mengirimkannya ke Ambon sebagai seorang dokter. Namun
selama para Gubernur Jenderal yang berkuasa menyukai karya-karya Junghuhn
tentang botani dan geologi, ia aman tetap melakukan penelitian di Jawa.
Mei 1845 ia
diangkat resmi sebagai anggota „Natuurkundige Commissie“ di Batavia. Dari gubernur jenderal Rochussen ia
beri tugas untuk mencari tambang batubara
di pulau Jawa,
III. PERIODE PENULISAN DAN
PENERBITAN BUKU
Agustus 1848 Setelah 13 tahun melakukan
berbagai penelitian botani dan geologi di Jawa, kesehatan Junghuhn menurun dan
ia kembali ke Eropa. Junghuhn diberikan cuti sakit untuk memulihkan
kesehatannya di Belanda. Tetapi Junghuhn setelah cukup sehat, ia meneruskan
beberapa tahun lagi tinggal di Belanda-Leiden, untuk meneliti semua sampel botani
dan geologinya yang ditemukan oleh Junghuhn di pulau Jawa dan Sumatera „Plantae Junghunianae“, sambil menyusun
buku yang nantinya akan menjadi magnus opus Junghuhn : Jawa.
Januari 1850 Junghuhn
menikah dengan Johanna Frederica di kota Leiden
1950
JAWA ; Buku edisi pertamanya tentang Jawa terbit dalam
bahasa Belanda
1854 disusun edisi berikutnya yang lebih
lengkap dan luas Tetapi, intrik ilmuwan rupanya terus mengikutinya. Karya
monumentalnya itu harus dimuat dalam Proceedings on Natural History of the
Dutch Colonial Possesions, dan tanpa nama penulisnya. Maka penelitian Junghuhn
selama 13 tahun di Jawa terancam anonim. Tetapi selalu ada orang yang membela
Junghuhn, kali ini datang dari Menteri Kolonial E.B.van den Bosch yang bahkan
memerintahkan Junghuhn menerbitkan karya monumentalnya tentang Jawa dalam
publikasi tersendiri dan tentu saja dengan nama Junghuhn sebagai penulisnya.
Namun, yang namanya pertolongan ternyata tidak gratis juga : Junghuhn harus
menanggalkan kewarganegaraan Jerman dan menerima kewarganegaraan Belanda.
Permintaan itu bukan merupakan masalah bagi Junghuhn,
Agustus 1853 ia diberikan
kewarganegaraan Belanda. Karena kerjaan untuk menyelesaikan rumusan terakhir
karya utamanya „Java - seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart“
1850 s/d 1854 „Java -
seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart“itu baru diterbitkan di Amsterdam dalam versi Belanda
1852 s/d 1854 Sementara di Leipzig
rekannya dari Jerman Karl Hasskarl menerjemahkan buku-bukunya ke dalam bahasa
Jerman.
IV. PERIODE PEMBUDIDAYAAN KINA
1850 Setelah kembali ke Jerman Hasskarl
mendapat tugas berbahaya dari pemerintah Belanda yang sebenarnya di luar
legalitas. Ia diperintahkan membawa benih dan bibit pohon kina dari Peru
ke Jawa. Peru yang ketika itu memiliki monopoli atas pohon kina melarang ekspor
kulit pohon kina. Sejak lama kulit pohon kina dipakai sebagai bahan dasar untuk
obat malaria. Semakin banyak orang Eropa bekerja di daerah tropis, bubuk putih
dari kulit pohon ini, yang disebut kinine, semakin laku.
1854 peta yang merupakan sebagian dari karya
itu Serentak dicetak, sedangkan peta besar pulau Jawa baru keluar setahun
kemudian,
1854 Junghuhn
mengarang sebuah karya dengan pandangannya tentang agama primordial
(Naturreligion) berlawanan dengan tradisi agama kristen. Buku itu berjudul
„Licht- und Schattenbilder aus dem Innern von Java“.
1855. peta
besar pulau Jawa baru keluar
18….. Hasskarl
berhasil membawa benih dan bibit pohon kina dalam 121 peti ke Jawa. Namun hanya
70 tumbuhan selamat. Pohon itupun ditanam di Cibodas.
Mei 1855 Di
Belanda lan Junghuhn berhasil menyelesaikan peta topografi Jawanya yang
terkenal itu, disusun dalam empat lembar peta dengan ukuran panjang hampir 4
meter dan lebar 1 meter. Ini adalah peta terlengkap dan terbaik tentang Jawa
dan Madura pada masanya. Peta topografi tanpa warna dijual seharga 12 gulden
dan peta geologi dengan warna dijual seharga 14 gulden.
Juni 1855 memulai
bagian kedua petualangan hidupnya di Jawa. Ia ditugaskan sebagai inspektur
penyelidikan alam di Pulau Jawa Junghuhn sekarang seorang naturalis bereputasi
internasional, mendapatkan beberapa penghargaan dan jadi anggota sejumlah
lembaga ilmiah.
30 Agustus 1855 Junghuhn dan
istrinya meninggalkan Eropa untuk selamanya dan kembali ke Jawa dengan tugas
baru sebagai Inspektur untuk Penelitian Alam di Jawa.
Juni 1856, Junghuhn
ditunjuk sebagai Kepala Budidaya Kina di Jawa menggantikan Justus Hasskarl yang
karena kesehatannya tidak memungkinkan memikul tugas berat dan ia pun kembali ke Eropa.
1857 ia
secara resmi ditugaskan untuk pengawasan perkebunan cinchona. Ia langsung
merubah pola/prosedur penanaman percobaan yang diterapkan J.K. Hasskarl, pendahulunya, Tugas itu beralih pada Junghuhn. Yang kemudian memindah
perkebunan cinchona ke daerah pegunungan yang lebih tinggi dan menyuruh menanam
semaian-semaian di dalam keteduhan hutan.
1857 ia
bermukim di lembang bersama istri dan satu-satunya putranya dan puteranya Frans
Christiaan
Mulai tahun 1858, Junghuhn pun
punya kegemaran baru, fotografi. Ia mengembangkan sendiri peralatan
fotografinya dan cara mengolahnya. Junghuhn berhasil memotret dengan baik.
1858 s/d1862 Johan Eliza de Vrij seorang farmakolog ternama menjadi
penasihat proyek cinchona itu. De Vrij menyarankan memilih jenis cinchona lain
yang lebih produktif. Tetapi pada waktu itu spesies cinchona ledgeriana belum
tersedia, yang kelak memungkinkan peningkatan penghasilan kinine di pulau Jawa,
sehingga pada akhir abad ke-19 kontribusi dari Nederlands Indie mencapai dua pertiga dari penghasilan kinine
sedunia. Sayang sekali proyek perkebunan cinchona baru menjadi sukses beberapa
tahun sesudah Junghuhn meninggal. Meskipun begitu jasanya, yang tak pernah akan
memudar, adalah promosi tegas serta konsolidasinya proyek cinchona sehingga
pengikut-pengikutnya dapat melanjutkannnya atas dasar prestasi Junghuhn.
Sepatutnya ia dapat dianggap perintis perkebunan cinchona di Pulau Jawa
24 April 1864 Ia wafat dalam
usia baru 54 tahun di rumahnya di Lembang. karena disentri amuba dan penyakit
ususnya yang menahun pukul tiga dini hari di sebuah rumah yang terpencil, jauh
dari para tetangga, di lereng Tangkuban Perahu, Lembang Sebelum ia
menghembuskan napas terakhirnya, ia meminta kepada sahabat terbaiknya Dokter
yang merawatnya sekaligus sahabatnya, Isaak Groneman untuk membukakan jendela
rumah pada subuh itu, ”Bukakan jendela
itu, agar aku bisa menatap Tangkuban Perahu untuk yang terakhir kalinya, dan
biar kuhirup udaranya yang bersih.”; Junghuhn menghembuskan nafasnya yang
terakhir.
1898 Seorang
dokter asal Swiss, E. Haffter tiba di Lembang, 34 tahun setelah meninggalnya
Junghuhn, melaporkan, lebih dari dua juta pohon kina telah digunakan untuk
produksi kinine. Sampai pada tahun 40-an, menjelang pecahnya perang dunia
kedua, perkebunan di sekitar Bandung menghasilkan bahan baku bagi 90 persen
produksi kinine di seluruh dunia. Untuk waktu yang lama kinine merupakan satu-satunya obat pemberantas
malaria. Monopoli kina yang diasosiasikan dengan nama Bandung, baru berhasil
dipatahkan setelah ditemukan obat malaria sintetis. Untuk pengembangannya
perusahaan farmasi Jerman juga memainkan peranan penting.
Dr.
Ir. G.P. Wenten Astika dari Pusat Penelitian Teh dan Kina menggambarkan pasokan
kina dari Indonesia hanya sekitar 5% di dunia. Padahal sebelum perang dunia
ke-2, Indonesia bisa memasok 95%. Karena waktu itu Indonesia memonopoli pasaran
kulit kina. Sekarang sudah banyak negara yang mengusahakan kina, seperti
Rwanda, Afrika Selatan, Zaire lalu India juga, sehingga persaingannya semakin
tajam.
Dari Junghuhn, kita bisa
belajar tentang kecintaan, kesungguhan, dan ketekunan kepada ilmu pengetahuan.
“Hanya di ketinggian pegunungan, aku dapat bahagia !” (Junghuhn, dalam “Ruckreise” - Perjalanan
Pulang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar