Rabu, 12 Februari 2014

MENGENAL FRANS WILHELM JUNGHUHN



“Tidak semua yang telah hilang, patut pula untuk tetap disimpan, di atas arus yang deras atau di atas perkamen; tetapi bagaimana normanya? Segala sesuatu, yang belum kehilangan fungsinya, patut diberi peluang hidup.” (Nietzsche)

“Betapa senangnya, betapa mudahnya hati ini tersentuh saat berada di atas gunung, sementara angin berhembus sepoi menerpa pohon kasuarina dan bintang berkelip menembus atap gubuk hijau tipis. Tiada genting yang menghalangi kita dari tatapan langit yang ramah. Tiada tembok gelap yang menyesakkan kita. Di sini kita bernafas lega dan bebas.” (Junghuhn di atas Gunung Kawi, 1844).

…Masih seperti hidup terkesan didalam benakku, hutan rimba nun disana yang terhias oleh hijau yang abadi beribu-ribu bunga, yang harumnya tidak pernah melemah; dengan telinga batinku aku mendengar angin laut mendesah diantara pohon-pohon pisang dan puncak-puncak pohon nyiur, deburnya air terjun, didaerah pedalaman yang jatuh dari ketinggian tebing-tebing gunung; seolah-olah saya menghirup hawa pagi yang sejuk, seakan-akan saya kembali berada dimuka gubuk orang jawa yang ramah, sedang sepi yang senyap masih meliputi hutan rimba yang mengelilingi diriku,-tinggi diatasku, diawang-awang kelompok-kelompok kalong dengan mengibas-ngibaskan sayapnya bergegas kembali kedaerah tempat bermukimnya disiang hari kemudian mulai ada kehidupan gerakan disengkuap tajuk dari, burung-burung merak meneriakkkan cuhungnya, kera-kera mulai lagi permainana yang lincah, sedang gema suaranya membangunkan gunung-gunung dengan nyanyian paginya, beribu-ribu burung mulai dengan kicaunnya, dan sebelum matahari mewarnai langit timur, puncak yang megah dari gunung disana telah terpulas dengan emas dan merah cerah, dari ketinggian dia memandang diriku seperti kenalan lama,- kerinduanku menanjak dan dengan haus kuharapkan datangnya hari, waktu dimana aku dapat mengatakan.. :
"salamku untukmu, gunung-gunung, "

FRANS JUNGHUNN
leiden, November 1851

Masih jelas dalam ingatanku kesan pemandangan hutan-hutan Pulau Jawa yang tak putusnya diselubungi kehijau-hijauan alami yang mempesona.
Juga pada beribu-ribu bunga di dalamnya yang senantiasa menyebarkan wewangian dan aroma asli nan penuh nikmat."

Jelas juga dalam ingatanku berisiknya daun-daun yang diembus angin laut yang lembut, meniup sela-sela pepohonan pisang sampai ke pucuk-pucuk pepohonan kelapa.
Jauh di dalam hutan terdengar tak henti-hentinya suara gemuruh jatuhnya air terjun dari lereng gunung yang terjal ke sungai yang berbatu-batu.

Kera-kera mulai dengan permainannya dari pohon ke pohon, burung-burung merak beterbangan menambah keramaian dengan suaranya yang keras.
Beribu-ribu burung juga tak mau kalah, berkicau dengan asyiknya seolah-olah berlomba untuk menyambut datangnya Sang Surya.

Mengalami semua ini, aku sungguh-sungguh merasa seolah-olah kami sudah lama berkenalan, dan aku tak dapat berbuat lain selain menundukkan kepala dan berdoa, berterima kasih kepada Sang Pencipta.

Kini timbul dalam hati sanubariku perasaan rindu dan hasrat kuat untuk kembali ke tempat itu, dan memuja: Hai gunung-gunung dan hutan-hutan, salam cinta dan terima kasih, sampai jumpa lagi  !

 DEDIKASI DAN SEMANGAT TINGGI

Dengan dedikasi dan semangat tinggi, Junghuhn membikin sejarah baru bidang  farmakologi lewat pengembangan budi daya tanaman kina. Bandung yang disebutnya "Parijs van Java" kian tersohor di mancanegara mengingat sebelum Perang Dunia II dikenal sebagai gudang bubuk kina. Sebab, sekitar 90 persen kebutuhan bubuk kina dunia dicukupi oleh perkebunan kina di wilayah sekitar Bandung.

Di samping tugasnya sebagai dokter, tak hanya sebagai ilmuwan, Junghuhn juga seorang pendaki, pelukis, dan fotografer andal. Junghuhn yang memang menyukai alam menyempatkan diri untuk mengunjungi berbagai daerah di Jawa, Dengan dana yang terbatas, Junghuhn tetap menjelajahi Jawa yang saat itu masih penuh dengan hutan belantara. sebut saja Rongkop, Imogiri, Prambanan, Salatiga, Magelang, dan Borobudur Ia pun menyusuri Pelabuhan Ratu, Priangan, Cirebon, serta meneliti gunung-gunung di Pulau Jawa seperti Patuha, Tangkuban Perahu, Papandayan, Galunggung, dan Ciremai. Ia mendokumentasikan semua yang pernah dikunjunginya. dengan sangat detail gunung-gunung yang pernah ia daki dengan foto atau lukisan, bahkan tempat-tempat yang sekiranya bagus yang pernah ia kunjungi. Lukisan-lukisan alam tentang Gunung Sumbing berawan nan sederhana, lukisan Candi Selo Grio yang rumit, hingga lanskap Jalan Raya Pos tergambar dengan jelas. Sangat realis. Hanya ada tiga gunung yang tidak sempat dijelajahi Junghuhn, selebihnya semua dijelajahinya. Karena tidak punya dana untuk membeli peralatan yang menunjang ekspedisinya, Junghuhn menggunakan peralatan seadanya. Sebagai contohnya untuk menggantikan barometer, ia menggunakan potongan bambu dan gelas kaca, tidak diketahui cairan yang digunakan Junghuhn, dan benda ‘barometer’ tersebut harus tetap dijaga agar cairannya senantiasa datar meskipun harus mendaki gunung-gunung terjal. Hebatnya lagi ia tidak pernah mengenyam pendidikan tersebut di pendidikan formal, semuanya ia pelajari sendiri.
Dari hasil perjalanannya tersebut ia menghasilkan peta pulau Jawa yang sangat spesifik. Bahkan jika dibandingkan dengan foto NASA tahun 2007, tidak banyak perbedaannya. Peta tersebut sangat detail, mulai dari ketinggian gunung, kontur-konturnya hingga jumlah penduduk pada saat peta dibuat.  Tahun 1845, saat itu, daerah bernama Ujung Berung Kulon (sekarang di tempat itu berdirilah ITB) memiliki sensus 18.000 jiwa, sementara Banjaran 17.000 jiwa, dan Ujung Berung Wetan 12.000 jiwa. Kota-kota besar seperti Surabaya, Semarang, dan Jakarta masing-masing dihuni oleh 100.000, 70.000, dan 59.000 jiwa. Selain peta, Junghuhn juga membuat diagram profil ketinggian Pulau Jawa, perbandingan antara gunung yang satu dan gunung lainnya begitu memukau, ia pun membuat perbandingan jika pulau jawa ditenggelamkan hingga 100.000 kaki ke dalam laut (notes: pada kedalaman 2000 kaki, Bandung akan menjadi kota pelabuhan).
Menurut Roman Roesener dari Goethe Institut Jakarta, setidaknya 46 gunung dari 56 gunung di Pulau Jawa, mulai Ujung Kulon hingga Banyuwangi, sudah didaki Junghuhn. Selain merekam perjalanan lewat foto, Junghuhn juga memetakan dan mengukur ketinggian gunung berikut lanskap.

Betapa hebatnya peta Junghuhn tersebut pada zamannya, sehingga tak kurang dari Alexander von Humboldt (naturalis dan geographer terkenal di dunia) mengomentari peta Jawa Junghuhn sebagai berikut,”Betapa besar rasa terima kasihku kepada Junghuhn atas peta yang indah, sungguh geologis, beraneka ragam bentuk. Setelah sebuah makan malam, Raja, Pangeran Friedrich dari Belanda, Menteri Peperangan, dan banyak Jenderal mengagumi peta ini sebagai sebuah karya yang sangat luar biasa,” (Berlin, 20 April 1857).

Dietmar Henze (1975) menilai karya Junghuhn adalah laporan perjalanan geografis di Jawa yang paling berbobot pada zamannya. "Benar-benar buku pertama yang dapat merumuskan dengan jitu kesan pulau ini secara konseptual dan visual."
sosok Junghuhn yang tidak hanya seorang Botanist, namun juga seorang Kartografis, Geologis, dan ahli Klimatologis. Junghuhn juga seorang pelukis alam yang hebat, ia selalu menggambarkan gunung-gunung yang didakinya tanpa melupakan detail-detail kecil.

PERIODISASI HIDUP JUNGHUHN
I. PERIODE PENCARIAN JATI DIRI
26 Oktober 1809         sebagai putra sulung seorang dokter dan pemangkas rambut, Wilhelm Friedrich Junghuhn lahir di Mansfeld dekat Pegunungan Harz  Jerman
Awal tahun 1829,       dia drop out dari sekolahnya dan sempat mencoba bunuh diri, yang konon katanya dipicu gara-gara bertengkar dengan ayahnya
1830                            ia kembali kuliah di kedokteran Berlin
Desember 1831           usia 22 tahun, Junghuhn dipenjara akibat berduel dengan rekan mahasiswanya seorang Swiss bernama Schwoerer. di sebuah restoran. Ia terkena luka tembak namun lawannya bunuh diri sebelum ditangkap
Januari 1832                Junghuhn dihukum 10 tahun di benteng Ehrenbreitstein di atas kota Koblenz
September 1833          Baru 20 bulan di penjara, ia berhasil melarikan diri ke Belgia. Dari sana ia menuju ke Prancis dan bergabung dengan Legiun Tentara Bayaran.   
1833                            Ia masuk legiun asing dan ditempatkan di Aljazair   
1834                            Ia diberhentikan lagi dari legion.

II. PERIODE EXPEDISI
1834                            Ia pergi ke Paris, dan Suatu waktu di Paris ia berkenalan dengan ahli botanika Belanda bernama Christian Hendrik Persoon yang menganjurkannya untuk pergi ke Hindia-Belanda.     
1834                            ia masuk dinas kesehatan pada tentara penjajahan Belanda
1835                            Seusai kuliah, 12 Januari 1835 Junghuhn diangkat menjadi dokter militer tingkat III. Dan tiba di Batavia, ia bertugas dalam dinas kesehatan di Batavia Ia menjadi dokter di rumah sakit tentara Weltevreden (kini Menteng). dan Selama masa tugasnya ia bekerja di Rumah Sakit Yogyakarta
1837-1838                   ia bekerja sebagai dokter di bawah Dr. Fritze , kepala lembaga kesehatan masyarakat di Hindia Belanda, sekaligus sebagai seorang geologist amatir, Junghuhn mulai berminat kepada geologi. Jughuhn diangkat sebagai asisten untuk lawatan inspeksi kesehatan. Dr. Fritze membawanya menelusuri Jawa sebagai inspeksi kesehatan sekaligus memuaskan hasratnya kepada geologi. Mereka mendaki banyak gunungapi dan mendatangi banyak tempat di Jawa. Selama lawatan ini, kedua dokter ini melakukan pengobatan, meneliti botani dan geologi.
Juli 1838,                     Junghuhn diangkat sebagai anggota sementara Komisi Ilmu Alam dengan syarat semua tanaman dan batuan yang dikumpulkannya menjadi milik Komisi. Bekerja untuk Komisi ini sangat menyukakan Junghuhn, sebab selain gajinya lebih besar daripada menjadi dokter (gaji 300 gulden), penyelidikan alam adalah nalurinya. Junghuhn pun makin banyak menyumbangkan tulisan ilmiah baik tentang gunung-gunung maupun tentang tumbuhan, yang dimuat dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie -jurnal bergengsi saat itu.
Oktober 1839              Junghuhn dikeluarkan dari Komisi Ilmu Alam dan diperintahkan untuk menjadi dokter kembali. Atas intrik dari C.L. Blume, kepala herbarium Kerajaan Belanda, Keharuman nama Junghuhn mulai mengundang rasa iri ilmuwan lain. Junghuhn segera mengirimkan semua koleksi tumbuhan dan batuannya ke Jerman, agar tak jatuh ke tangan Herbarium Kerajaan Belanda. Perselisihan dengan Blume ini terjadi sepanjang hayat mereka.
pertengahan 1840        Junghuhn dipindah ke Padang, di mana ia ditugaskan oleh gubernur Pieter Merkus pergi ke daerah Batak dan meyelidikinya, karena pada waktu itu bagian Sumatera itu masih kurang terkenal. Hermann von Rosenberg, seorang penyelidik alam berkebangsaan Jerman disuruh mendampingi Junghuhn, meskipun von Rosenberg terpaksa mambatalkannya karena suatu peristiwa dalam kegiatan berburu, yang berakibatkan ia jatuh sakit. Makanya Junghuhn berangkat sendirian dan selama satu tahun setengah, selama ekspedisinya berlangsung hanya diiringi pendamping-pendamping pribumi saja. Ia hanya dapat menjelajahi bagian Selatan dari daerah Batak, sebabnya masyarakat Batak di bagian Utara menghalanginya dari masuk ke pedalaman. Perjalanan ke daerah Batak juga dipersulitkan oleh akibat perang Paderi, yang baru berakhir pada tahun 1838 dan meninggalkan pada suku Batak suatu trauma terhadap orang dari luar. Perjalanan kaki Junghuhn melalui hutan belantara dan pegunungan di daerah Batak pada waktu itu sangat melelahkan dan penuh jerih payah. Tenaga fisik dan psikis Junghuhn dan para pendampingnya ditantang secara sangat berat. Dari 17 bulan, ia berada di daerah itu, ia terpaksa menghabiskannya selama sepuluh bulan di tempat tidur untuk merawat kakinya yang terkena sakit parah. Dalam segala tulisannya ia menunjukkan simpati besar kepada orang Batak. Ia menghargai tinggi keramahan mereka terhadap orang tamu, spontanitasnya, keramah-tamahannya dan juga keterbukaannya. Ia mengagumi bahasa baku mereka, tetapi tidak dapat memahami kenapa mereka menggemari kanibalisme. Agaknya kanibalisme mereka cuma sebuah legenda, yang disebarluaskan oleh masyarakat Batak sendiri untuk menghalangi orang-orang luar dari masuk ke daerah mereka.
Juni 1842                     Junghuhn kembali di Batavia. Pemerintah kolonial Belanda menugaskan dia dengan pengukuran topografis Jawa Barat, kemudian juga Jawa Timur.
Januari 1844,               Junghuhn diangkat kembali sebagai anggota Komisi Ilmu Alam, bahkan kini sebagai anggota tetap. Perintah ini datang langsung dari Gubernur Jenderal Pieter Merkus yang mengenal dengan baik naluri, minat dan keahlian Junghuhn yang sesungguhnya. Meskipun demikian, intrik di antara para ilmuwan rupanya selalu terjadi, beberapa orang berusaha mengirimkannya ke Ambon sebagai seorang dokter. Namun selama para Gubernur Jenderal yang berkuasa menyukai karya-karya Junghuhn tentang botani dan geologi, ia aman tetap melakukan penelitian di Jawa.
Mei 1845                     ia diangkat resmi sebagai anggota „Natuurkundige Commissie“ di Batavia. Dari gubernur jenderal Rochussen ia beri tugas untuk mencari tambang batubara  di pulau Jawa, 

III. PERIODE PENULISAN DAN PENERBITAN BUKU
Agustus 1848              Setelah 13 tahun melakukan berbagai penelitian botani dan geologi di Jawa, kesehatan Junghuhn menurun dan ia kembali ke Eropa. Junghuhn diberikan cuti sakit untuk memulihkan kesehatannya di Belanda. Tetapi Junghuhn setelah cukup sehat, ia meneruskan beberapa tahun lagi tinggal di Belanda-Leiden, untuk meneliti semua sampel botani dan geologinya yang ditemukan oleh Junghuhn di pulau Jawa dan Sumatera „Plantae Junghunianae“, sambil menyusun buku yang nantinya akan menjadi magnus opus Junghuhn : Jawa.
Januari 1850                Junghuhn menikah dengan Johanna Frederica di kota Leiden 
1950                                                        JAWA ; Buku edisi pertamanya tentang Jawa terbit dalam bahasa Belanda    
1854                            disusun edisi berikutnya yang lebih lengkap dan luas Tetapi, intrik ilmuwan rupanya terus mengikutinya. Karya monumentalnya itu harus dimuat dalam Proceedings on Natural History of the Dutch Colonial Possesions, dan tanpa nama penulisnya. Maka penelitian Junghuhn selama 13 tahun di Jawa terancam anonim. Tetapi selalu ada orang yang membela Junghuhn, kali ini datang dari Menteri Kolonial E.B.van den Bosch yang bahkan memerintahkan Junghuhn menerbitkan karya monumentalnya tentang Jawa dalam publikasi tersendiri dan tentu saja dengan nama Junghuhn sebagai penulisnya. Namun, yang namanya pertolongan ternyata tidak gratis juga : Junghuhn harus menanggalkan kewarganegaraan Jerman dan menerima kewarganegaraan Belanda. Permintaan itu bukan merupakan masalah bagi Junghuhn,
Agustus 1853              ia diberikan kewarganegaraan Belanda. Karena kerjaan untuk menyelesaikan rumusan terakhir karya utamanya „Java - seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart“
1850 s/d 1854             „Java - seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart“itu baru diterbitkan di Amsterdam dalam versi Belanda
1852 s/d 1854             Sementara di Leipzig rekannya dari Jerman Karl Hasskarl menerjemahkan buku-bukunya ke dalam bahasa Jerman.

IV. PERIODE PEMBUDIDAYAAN KINA
1850                            Setelah kembali ke Jerman Hasskarl mendapat tugas berbahaya dari pemerintah Belanda yang sebenarnya di luar legalitas. Ia diperintahkan membawa benih dan bibit pohon kina dari Peru ke Jawa. Peru yang ketika itu memiliki monopoli atas pohon kina melarang ekspor kulit pohon kina. Sejak lama kulit pohon kina dipakai sebagai bahan dasar untuk obat malaria. Semakin banyak orang Eropa bekerja di daerah tropis, bubuk putih dari kulit pohon ini, yang disebut kinine, semakin laku.
1854                            peta yang merupakan sebagian dari karya itu Serentak dicetak, sedangkan peta besar pulau Jawa baru keluar setahun kemudian,
1854                            Junghuhn mengarang sebuah karya dengan pandangannya tentang agama primordial (Naturreligion) berlawanan dengan tradisi agama kristen. Buku itu berjudul „Licht- und Schattenbilder aus dem Innern von Java“.
1855.                           peta besar pulau Jawa baru keluar
18…..                          Hasskarl berhasil membawa benih dan bibit pohon kina dalam 121 peti ke Jawa. Namun hanya 70 tumbuhan selamat. Pohon itupun ditanam di Cibodas.
Mei 1855                     Di Belanda lan Junghuhn berhasil menyelesaikan peta topografi Jawanya yang terkenal itu, disusun dalam empat lembar peta dengan ukuran panjang hampir 4 meter dan lebar 1 meter. Ini adalah peta terlengkap dan terbaik tentang Jawa dan Madura pada masanya. Peta topografi tanpa warna dijual seharga 12 gulden dan peta geologi dengan warna dijual seharga 14 gulden.
Juni 1855                     memulai bagian kedua petualangan hidupnya di Jawa. Ia ditugaskan sebagai inspektur penyelidikan alam di Pulau Jawa Junghuhn sekarang seorang naturalis bereputasi internasional, mendapatkan beberapa penghargaan dan jadi anggota sejumlah lembaga ilmiah.
30 Agustus 1855         Junghuhn dan istrinya meninggalkan Eropa untuk selamanya dan kembali ke Jawa dengan tugas baru sebagai Inspektur untuk Penelitian Alam di Jawa.
Juni 1856,                    Junghuhn ditunjuk sebagai Kepala Budidaya Kina di Jawa menggantikan Justus Hasskarl yang karena kesehatannya tidak memungkinkan memikul tugas berat dan ia  pun kembali ke Eropa.
1857                            ia secara resmi ditugaskan untuk pengawasan perkebunan cinchona. Ia langsung merubah pola/prosedur penanaman percobaan yang diterapkan J.K. Hasskarl, pendahulunya, Tugas itu beralih pada Junghuhn. Yang kemudian memindah perkebunan cinchona ke daerah pegunungan yang lebih tinggi dan menyuruh menanam semaian-semaian di dalam keteduhan hutan.
1857                            ia bermukim di lembang bersama istri dan satu-satunya putranya dan puteranya Frans Christiaan
Mulai tahun 1858,       Junghuhn pun punya kegemaran baru, fotografi. Ia mengembangkan sendiri peralatan fotografinya dan cara mengolahnya. Junghuhn berhasil memotret dengan baik.
1858 s/d1862              Johan Eliza de Vrij seorang farmakolog ternama menjadi penasihat proyek cinchona itu. De Vrij menyarankan memilih jenis cinchona lain yang lebih produktif. Tetapi pada waktu itu spesies cinchona ledgeriana belum tersedia, yang kelak memungkinkan peningkatan penghasilan kinine di pulau Jawa, sehingga pada akhir abad ke-19 kontribusi dari Nederlands Indie mencapai dua pertiga dari penghasilan kinine sedunia. Sayang sekali proyek perkebunan cinchona baru menjadi sukses beberapa tahun sesudah Junghuhn meninggal. Meskipun begitu jasanya, yang tak pernah akan memudar, adalah promosi tegas serta konsolidasinya proyek cinchona sehingga pengikut-pengikutnya dapat melanjutkannnya atas dasar prestasi Junghuhn. Sepatutnya ia dapat dianggap perintis perkebunan cinchona di Pulau Jawa
akhir tahun 1861         kena infeksi amoeba dan sejak waktu itu tidak dapat sembuh lagi.  
24 April 1864              Ia wafat dalam usia baru 54 tahun di rumahnya di Lembang. karena disentri amuba dan penyakit ususnya yang menahun pukul tiga dini hari di sebuah rumah yang terpencil, jauh dari para tetangga, di lereng Tangkuban Perahu, Lembang Sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya, ia meminta kepada sahabat terbaiknya Dokter yang merawatnya sekaligus sahabatnya, Isaak Groneman untuk membukakan jendela rumah pada subuh itu, ”Bukakan jendela itu, agar aku bisa menatap Tangkuban Perahu untuk yang terakhir kalinya, dan biar kuhirup udaranya yang bersih.”; Junghuhn menghembuskan nafasnya yang terakhir.
1898                            Seorang dokter asal Swiss, E. Haffter tiba di Lembang, 34 tahun setelah meninggalnya Junghuhn, melaporkan, lebih dari dua juta pohon kina telah digunakan untuk produksi kinine. Sampai pada tahun 40-an, menjelang pecahnya perang dunia kedua, perkebunan di sekitar Bandung menghasilkan bahan baku bagi 90 persen produksi kinine di seluruh dunia. Untuk waktu yang lama kinine merupakan satu-satunya obat pemberantas malaria. Monopoli kina yang diasosiasikan dengan nama Bandung, baru berhasil dipatahkan setelah ditemukan obat malaria sintetis. Untuk pengembangannya perusahaan farmasi Jerman juga memainkan peranan penting.
                                    Dr. Ir. G.P. Wenten Astika dari Pusat Penelitian Teh dan Kina menggambarkan pasokan kina dari Indonesia hanya sekitar 5% di dunia. Padahal sebelum perang dunia ke-2, Indonesia bisa memasok 95%. Karena waktu itu Indonesia memonopoli pasaran kulit kina. Sekarang sudah banyak negara yang mengusahakan kina, seperti Rwanda, Afrika Selatan, Zaire lalu India juga, sehingga persaingannya semakin tajam.

Dari Junghuhn, kita bisa belajar tentang kecintaan, kesungguhan, dan ketekunan kepada ilmu pengetahuan.
“Hanya di ketinggian pegunungan, aku dapat bahagia !” (Junghuhn, dalam “Ruckreise” - Perjalanan Pulang).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar